TUGAS
MAKALAH
MATA
KULIAH TSL 648 TEKNOLOGI PENGOMPOSAN DAN PENGOLAHAN LIMBAH PERTANIAN
LIMBAH
INDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, KAKAO, TEBU DAN KOPI
DISUSUN
OLEH
RURY KURNIAWAN /
A154120021
TITIK TRI
WAHYUNI / A154120051
MAYOR
BIOTEKNOLOGI TANAH DAN LINGKUNGAN
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
TAHUN
2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Limbah Industri Perkebunan Kelapa Sawit, Kopi, Kakao dan
Tebu” ini.
Makalah
ini merupakan salah satu tugas dalam mengikuti Mata Kuliah Teknologi
Pengomposan dan Pengolahan Limbah Pertanian (TSL 648), dalam makalah ini
dibahas dan diuraikan tentang potensi, karakteristik dan pemanfaatan limbah
indrustri perkebunan khususnya yang dilakukan di Indonesia dan dengan makalah
ini diharapkan dapat saling bertukar pikiran antara satu pengalaman dengan
pengalaman yang lain untuk dapat saling melengkapi. Meskipun kami menyadari
bahwa dalam penyusunan ini sangat jauh dari kesempurnaan namun usaha untuk
mempelajari dan sedikit gambaran tentang potensi limbah industri perkebunan
khususnya Kelapa Sawit, Kakao, Kopi dan Tebu dicoba dibahas dalam tulisan ini.
Penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, dan kami selaku
penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran untuk kelengkapan dan
menyempurnakannya.
Akhirnya
hanya kepada Allah kami mohon hidayah dan taufik-Nya agar selalu dalam
lindungan-Nya dan semoga informasi yang termuat dalam makalan ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
Bogor, Mei
2013
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL.............................................................................................. i
KATA
PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR
ISI......................................................................................................... iii
DAFTAR
TABEL................................................................................................. iv
DAFTAR
GAMBAR............................................................................................. v
I.
PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1. Latar
Belakang ........................................................................................... 1
1.2. Tujuan
........................................................................................................ 3
1.3. Rumusan
Masalah................................................................................ ....... 3
II. PEMBAHASAN............................................................................................... 4
2.1. Potensi
dan Karakteristik Limbah Industri Perkebunan............................. 4
2.1.1. Potensi
dan Karakteristik Industri Perkebunan Kelapa Sawit.......... 5
2.1.2. Potensi
dan Karakteristik Industri Perkebunan Kopi...................... 10
2.1.3. Potensi
dan Karakteristik Industri Perkebunan Tebu...................... 11
2.1.4. Potensi
dan Karakteristik Industri Perkebunan Kakao................... 14
2.2. Pengelolaan
Limbah Industri Perkebunan sebagai Pupuk Organik.......... 15
2.2.1. Limbah
Padat.................................................................................. 17
2.2.2. Limbah
Cair..................................................................................... 18
2.3. Pengelolaan
Limbah Industri Perkebunan Lainnya.................................. 19
2.3.1. Pakan
Ternak................................................................................... 19
2.3.2. Arang
Aktif..................................................................................... 21
2.3.3. Papan
Partikel.................................................................................. 21
2.3.4. Pulp.................................................................................................. 22
2.3.5. Bahan
Pembuat Nata....................................................................... 22
2.3.6. Bahan
Bakar Alternatif................................................................... 24
2.3.7. Polymer
Superabsorben................................................................... 25
2.3.8. Pengendali
Pencemaran................................................................... 25
III.PENUTUP...................................................................................................... 26
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................... 27
DAFTAR
TABEL
1. Luas areal beberapa
tanaman perkebunan di Indonesia tahun 2008 - 2012 4
2. Produksi beberapa
tanaman perkebunan di Indonesia tahun 2008 - 2012. ....... 4
3.
Rata-rata jenis dan potensi limbah
kelapa sawit Indonesia ............................. 7
4.
Kandungan hara limbah kelapa sawit................................................................ 8
5.
Kandungan hara abu hasil pembakaran
tandan kosong, serat dan
cangkang kelapa sawit....................................................................................... 9
6.
Kualitas limbah cair (inlet) pabrik
kelapa sawit................................................. 9
7. Kisaran komponen kimia limbah cair pabrik
kelapa sawit (PKS) sebelum
.... dan setelah penanganan. ................................................................................. 10
8. Rata-rata jenis dan estimasi potensi limbah
kopi Perkebunan Besar
Indonesia berdasarkan jumlah produksi biji
pertahun (tahun 2012)................ 11
9. Rata-rata jenis dan estimasi potensi limbah
tebu Indonesia berdasarkan
jumlah produksi gula tebu
pertahun (tahun 2012)........................................... 12
10.Komposisi unsur yang
terkandung pada blotong dan abu ketel limbah
pengolahan tebu.............................................................................................. 13
11.Rata-rata
jenis dan estimasi potensi limbah kakao Perkebunan Besar
Indonesia
berdasarkan jumlah produksi biji per tahun (tahun 2012).............. 14
DAFTAR
GAMBAR
1.
Material balance proses pengolahan minyak kelapa sawit.................................. 6
2.
Fraksionasi hasil pengolahan tandan buah segar kelapa sawit............................ 8
3.
Proses Pembuatan Nata De Cacao.................................................................... 23
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia
memiliki potensi sumberdaya alam, termasuk plasma nutfah yang melimpah. Hal ini
dapat dilihat dengan beragamnya jenis komoditas pertanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan yang sudah sejak lama diusahakan
sebagai sumber pangan dan pendapatan masyarakat. Potensi ketersediaan lahan
Indonesia cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Data dari kajian
akademis yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian
Pertanian pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa total luas daratan Indonesia
adalah sebesar 192 juta ha, terbagi atas 123 juta ha (64,6 persen) merupakan
kawasan budidaya dan 67 juta ha sisanya (35,4 persen) merupakan kawasan
lindung. Dari total luas kawasan budidaya, yang berpotensi untuk areal
pertanian seluas 101 juta ha, meliputi lahan basah seluas 25,6 juta ha, lahan
kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta
ha. Sampai saat ini, dari areal yang berpotensi untuk pertanian tersebut, yang
sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta ha, sehingga masih
tersisa 54 juta ha yang berpotensi untuk perluasan areal pertanian.
Subsektor
perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang menjadi salah satu
faktor yang mendukung kegiatan
perekonomian di Indonesia. Perkebunan
adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau
media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan
barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan, bahwa penyelenggaraan perkebunan di Indonesia didasarkan atas
asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta
berkeadilan, sehingga tujuan penyelenggaraannya diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan penerimaan
devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan
produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan
bahan baku industri dalam negeri, dan mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya
alam secara berkelanjutan.
Agar
hasil produksi perkebunan dapat menghasilkan barang yang bernilai lebih tinggi
maka dilakukan proses pengolahan yang disebut dengan industri. Industri adalah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi
atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam penggunaannya. Setiap
proses produksi suatu industri akan menghasilkan limbah, dimana satu sama lain
jenis dan karakteristik limbah dari masing-masing industri berbeda satu sama
lain. Hal ini sangat tergantung pada input, proses serta output yang dihasilkan
dalam suatu industri.
Perkembangan
industri yang pesat untuk menghasilkan produk ternyata tidak selalu dibarengi
dengan upaya untuk menekan jumlah, jenis dan tingkat bahaya limbah yang
dihasilkan. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan pencemaran lingkungan dan
berdampak pada penurunan kesehatan manusia, hilangnya habitat alami,
tercemarnya sumber-sumber air serta mengakibatkan kerugian sosial dan ekonomi
yang cukup besar. Demikian juga dalam industri tanaman perkebunan seperti kelapa
sawit, kakao, tebu dan kopi, limbah industri perkebunan ini kebanyakan
menghasilkan limbah cair, padat dan gas (emisi). Upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif yang timbul dan
untuk meningkatkan nilai tambah bagi limbah tersebut, maka limbah-limbah harus
dikelola dengan baik. Pengelolaan limbah industri perkebunan akan menghasilkan
sumberdaya dalam bentuk lain yang bermanfaat untuk berbagai jenis
keperluan, baik sebagai pupuk organik bagi tanaman, sebagai pakan ternak, sebagai
arang aktif, sebagai papan partikel, sebagai biofuel, bahkan masih banyak
bentuk pemanfaatan lainnya dari limbah-limbah ini, sehingga pada akhirnya
tercapai suatu tujuan mulia dengan konsep zero waste (zero emision).
1.2. Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami potensi,
karakteristik, pemanfaatan limbah industri perkebunan sebagai bahan baku untuk
pupuk organik dan pemanfaatan lainnya.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana
potensi dan karakteristik limbah perkebunan kelapa sawit, tebu, kakao dan kopi ?
b. Bagaimana
pemanfaatan limbah perkebunan kelapa sawit, tebu, kakao dan kopi sebagai pupuk
organik?
c. Bagaimana
penggunaan dari limbah perkebunan kelapa sawit, tebu, kakao dan kopi untuk saat
ini ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Potensi dan Karakteristik Limbah Industri Perkebunan
Subsektor
perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan paling
konsisten, baik ditinjau dari luas areal maupun produksi. Menurut Dirjen
Perkebunan RI tahun 2013, luas areal beberapa tanaman perkebunan di Indonesia
pada tahun 2012 meliputi kelapa sawit seluas
9.074.621 ha, kopi 1.233.982 ha, tebu 461.082
ha dan kakao 1.709.050 ha. Sejalan dengan pertumbuhan luas areal, produksi
perkebunan juga meningkat dengan konsisten. Produksi kelapa
sawit tahun 2012 adalah sebesar 23.521.071 ton/tahun, kopi 657.138 ton/tahun, tebu 2.438.198 ton/ha dan
kakao 833.310 ton/ha (Dirjen Perkebunan RI, 2013). Tabel 1 dan 2 menunjukan
luas areal dan produksi tanaman perkebunan di Indonesia.
Tabel 1.
Luas areal beberapa tanaman perkebunan di Indonesia tahun 2008 - 2012*
Tahun
|
Kelapa Sawit
|
Kopi
|
Tebu
|
Kakao
|
2008
|
7.363.847
|
1.295.111
|
436.505
|
1.425.217
|
2009
|
8.248.328
|
1.266.235
|
441.440
|
1.587.136
|
2010
|
8.385.394
|
1.210.365
|
454.111
|
1.650.621
|
2011
|
8.992.824
|
1.233.968
|
451.788
|
1.677.254
|
2012*)
|
9.074.621
|
1.233.932
|
461.082
|
1.709.050
|
Sumber:
Dirjen Perkebunan RI 2013, *) Angka
Sementara.
Tabel 2.
Produksi beberapa tanaman perkebunan di Indonesia tahun 2008 - 2012*
Tahun
|
Kelapa
Sawit
|
Kopi
|
Tebu
|
Kakao
|
2008
|
17.539.788
|
698.016
|
2.688.428
|
803.595
|
2009
|
19.324.294
|
682.591
|
2.517.374
|
820.496
|
2010
|
21.958.120
|
686.921
|
2.290.116
|
837.918
|
2011
|
23.096.541
|
638.647
|
2.267.887
|
712.231
|
2012*)
|
23.521.071
|
657.138
|
2.438.198
|
833.310
|
Sumber:
Dirjen Perkebunan RI 2013, *) Angka Sementara.
Komoditi
perkebunan tersebut selain menghasilkan produk utama juga menghasilkan
limbah/hasil ikutan/pendamping. Limbah diartikan sebagai suatu substansi yang
didapatkan selama pembuatan sesuatu (by-product),
barang sisa (residue) atau sesuatu yang tidak berguna dan harus dibuang (waste). Selain itu limbah dapat pula
diartikan sebagai hasil samping dari suatu kegiatan atau aktivitas (Murni, et al,. 2008). Limbah yang dihasilkan dapat
bersifat padat dan bersifat cair. Apabila kedua limbah ini tidak ditangani
dengan baik maka akan mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.
Pengelolaan yang tepat akan memberi manfaat yang cukup besar. Limbah yang
bersifat padat umumnya sulit terdekomposisi karena kandungan minyak dan
ligninnya tinggi, sehingga diperlukan upaya yang tepat untuk pengelolaan dan
pengolahan limbah ini. Sedangkan limbah
cair mengandung BOD dan COD serta minyak yang tinggi.
Analisis
mengenai komponen organik atau karakteristik limbah membantu menentukan proses
daur ulang (recycle) sebagai bahan
baku pupuk organik, pakan ternak, papan partikel, arang aktif maupun
pemanfaatan lainnya. Limbah-limbah hasil pengolahan industri perkebunan memiliki
karakteristik yang baik dimana masih mengandung unsur hara yang esensial bagi
tanaman baik unsur hara makro maupun mikro yang apabila dijadikan pupuk organik
dan diberikan pada tanah akan memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah
serta meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Selain
sebagai pupuk organik,
limbah-limbah ini dapat juga dimanfaatkan sebagai makanan ternak dan manfaat
lainnya. Begitu juga dengan limbah cair dapat juga digunakan untuk memupuk
tanaman karena mengandung unsur hara yang relatif tinggi pula, disamping itu
bisa juga digunakan untuk biogas, pembangkit tenaga listrik dan keperluan
lainnya.
2.1.1.
Potensi dan Karakteristik Limbah Industri Perkebunan Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) merupakan salah
satu tanaman komoditas sub sektor perkebunan yang memberikan andil besar bagi
pemasukan devisa negara di luar sektor minyak bumi dan gas. Upaya peningkatan
produksi minyak kelapa sawit memiliki prospek yang cerah pada masa yang akan
datang, karena kegunaan minyak sawit yang beragam baik sebagai bahan baku dalam
industri pangan maupun non pangan. Seiring dengan perkembangan areal lahan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang meningkat dengan pesat, maka jumlah
pabrik kelapa sawit (PKS) juga akan bertambah secara nyata. Sebagai konsekuensi
akibat bertambahnya unit pengolahan PKS maka akan meningkatkan limbah juga.
Pengolahan kelapa sawit menghasilkan sisa limbah yang sangat banyak, baik
berupa limbah padat maupun limbah cair yang masih menyimpan elemen yang
bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Secara garis besar material
balance proses pengolahan kelapa sawit sebagai berikut:
Gambar 1. Material balance
proses pengolahan minyak kelapa sawit
(Dirjen
PPHP, Deptan, 2006)
Secara umum limbah dari pabrik kelapa
sawit terdiri atas tiga macam yaitu limbah cair, padat dan gas. Jenis limbah kelapa sawit pada generasi pertama adalah
limbah padat yang terdiri dari tandan kosong, pelepah, cangkang, serat dan
lain-lain. Sedangkan limbah cair terjadi pada in house keeping. Limbah-limbah tersebut dapat dimanfaatkan sehingga
mempunyai nilai ekonomi yang tidak sedikit. Adapun potensi tersebut ditunjukan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata jenis dan potensi limbah kelapa
sawit Indonesia
Jenis
|
Potensi (%)*)
|
Jumlah
(ton/tahun)
|
Manfaat
|
Tandan buah segar (TBS)
|
100
|
23.521.071**)
|
|
Minyak sawit
|
25.5
|
5.997,873.105
|
|
Tandan kosong
|
23.0
|
5.409.846,33
|
Pupuk organik, pulp kertas, papan
partikel, energy
|
Wet decanter solid
|
4.0
|
940.842,84
|
Pupuk organik, makanan ternak
|
Cangkang
|
6.5
|
1.528.869,61
|
Arang, karbon aktif, papan partikel
|
Serabut (fiber)
|
13.0
|
3.057.739.23
|
Energi, pulp kertas, papan, partikel
|
Limbah cair
|
50.0
|
11.760.535,5
|
Pupuk, air irigasi
|
Sumber:
*)Dirjen PPHP Deptan 2006
**)Dirjen
Perkebunan RI 2013
Hampir seluruh air buangan PKS mengandung bahan organik yang dapat
mengalami degradasi. Oleh karenanya dalam pengelolaan limbah perlu diketahui
karakteristik limbah tersebut. Limbah padat tandan kosong (TKS) merupakan
limbah padat yang jumlahnya cukup besar yaitu 5.409.846,33 ton/tahun, namun pemanfaatannya masih terbatas. Limbah
tersebut selama ini dibakar dan sebagian ditebarkan dilapangan sebagai mulsa. Persentase
TKS terhadap TBS sekitar 20% dan setiap ton TKS mengandung unsur hara N, P, K
dan Mg berturut-turut setara dengan 3 kg urea; 0,6 kg CIRP; 12 kg MOP; dan 2 kg
kieserit. TKS merupakan bahan lignoselulosa yang terdiri dari
selulosa 41,3– 46,%, hemicellulosa 25,3 – 33,8% danlignin 27,6 – 32,5%. (Sudiyani,
et.al 2010).
Gambar 2. Fraksionasi
hasil pengolahan tandan buah segar kelapa sawit
(Dirjen
PPHP, Deptan, 2006)
Selain TKS, limbah
padat kelapa sawit yang lain juga memilki kandungan hara yang tinggi sebagai
mana disajikan pada Tabel 4. Dari hasil perhitungan untuk setiap hektar tanaman tersebut
maka memberikan gambaran dan informasi untuk menentukan kelayakan daur ulang
limbah sawit sebagai pupuk bagi tanaman.
Tabel 4. Kandungan hara limbah kelapa sawit
Limbah kelapa
sawit dari peremajaan dan bobot kering /ha tanaman
|
Bobot dalam
kg/ha tanaman
|
||||
N
|
P
|
K
|
Mg
|
Ca
|
|
Batang
pohon
|
0,488
|
0.047
|
0,699
|
0,117
|
0,194
|
Pelepah
|
2,38
|
0,157
|
1,116
|
0,287
|
0,586
|
Daun
|
0,373
|
0,066
|
0,873
|
0,161
|
0,295
|
Tandan
Kosong
|
0,350
|
0,028
|
2,285
|
0,175
|
0,149
|
Serat
Buah
|
0,320
|
0,080
|
0,470
|
0,020
|
0,110
|
Cangkang
|
0,330
|
0,010
|
0,090
|
0,020
|
0,020
|
Sumber
: Dirjen PPHP, Deptan, 2006
Hasil pembakaran tandan
kosong, serat dan cangkang kelapa sawit juga menyumbangkan hara yang cukup
tinggi terutama kalium (K), kalsium (Ca) dan fosfat (P). Kandungan ketiga unsur
tersebut disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan
hara abu hasil pembakaran tandan kosong, serat dan cangkang kelapa sawit
Abu hasil pembakaran
|
Kandungan hara (%)
|
||
P
|
K
|
Ca
|
|
Tandan
kosong
|
1,25-2,18
|
24,9-33,2
|
5,4
|
Serat
dan cangkang
|
1,74-2,61
|
16,6-24,9
|
7,1
|
Sumber
: Dirjen PPHP, Deptan, 2006
Limbah cair yang dihasilkan dari
seluruh proses produksi minyak kelapa sawit diperkirakan maksimal 60% dari
seluruh tandan buah segar yang diolah. Berdasarkan hasil penelitian tarhadap
beberapa PKS oleh Bank Dunia diketahui bahwa kualitas limbah cair yang
dihasilkan berpotensi mencemari badan air penerima limbah. Kualitas limbah cair
(inlet) Pabrik Kelapa Sawit disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kualitas limbah cair (inlet)
Pabrik Kelapa Sawit
No.
|
Parameter Lingkungan
|
Satuan
|
Limbah Cair
|
Baku Mutu MENLH
|
|
Kisaran
|
Rata-rata
|
||||
1.
|
BOD
|
mg/liter
|
8.200-35.000
|
21.280
|
250
|
2.
|
COD
|
mg/liter
|
15.103-65.100
|
34.720
|
500
|
3.
|
TSS
|
mg/liter
|
1.330-50.700
|
31.170
|
300
|
4.
|
Nitrogen
total
|
mg/liter
|
12-126
|
41
|
20
|
Sumber
: Dirjen PPHP, Deptan, 2006
Hampir seluruh air
buangan PKS mengandung bahan organik yang dapat mengalami degradasi. Limbah
cair dari hasil pengelohan industri
kelapa sawit masih mengandung unsur hara yang relatif tinggi dan disertai dengan biologi oksigen
demand (BOD) yang tinggi. Untuk memanfaatkan limbah cair ini perlu dilakukan
perlakuan di dalam kolom-kolam Instansi Pengelolaan Limbah (IPAL) terlebih
dahulu, supaya kualitas limbah cair meningkat. Karkteristik limbah cair hasil
pengolahan kelapa sawit disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kisaran
komponen kimia limbah cair pabrik kelapa sawit (PKS) sebelum dan setelah
penanganan.
Uraian
|
WPH (hari)
|
BOD (mg/l)
|
P
(mg/l)
|
N
(mg/l)
|
K
(mg/l)
|
Mg (mg/l)
|
Limbah
(fat-pit)
|
-
|
25.000
|
500-900
|
90-140
|
1.000-1.975
|
250-340
|
Kolam
pengasaman
|
5
|
25.000
|
500-900
|
90-140
|
1.000-1.975
|
250-340
|
Kolam
anaerob primer
|
75
|
3.500-5.000
|
675
|
90-110
|
1000-1850
|
250-320
|
Kolam anaerob sekunder
|
35
|
2.000-3.500
|
450
|
62-85
|
875-1.250
|
160-215
|
Kolam
aerobic
|
15-21
|
100-200
|
80
|
5-15
|
4200-670
|
25-55
|
Kolam
pengendapan
|
2
|
100-150
|
40 -70
|
3-15
|
330-650
|
17-40
|
Sumber
: Paimin, Siahaan, dan Tobing (1996) Cit
Dirjen PPHP, Deptan, 2006).
Pemanfaatan limbah cair
pabrik kelapa sawit dari kolam anaerobik sekunder dengan BOD 3.500-5000
mg/liter yang dapat menyumbangkan unsur hara terutama N dan K, bahan organik, dan sumber air
terutama pada musim kemarau. Setiap pengolahan 1 ton TBS akan menghasilkan
limbah padat berupa tandan kosong sawit (TKS) sebanyak 200 kg, sedangkan untuk
setiap produksi 1 ton minyak sawit
mentah (MSM) akan menghasilkan 0,6-0,7 ton limbah cair dengan BOD
20.000-60.000 mg/liter. Kandungan hara limbah cair PKS adalah 450 mg N/l, 80 mg
P/l, 1.250 mg K/l dan 215 mg/l. Sistem
aplikasi limbah cair dapat dilakukan dengan system sprinkle (air memancar),
flatbed (melalui pipa ke bak-bak distribusi ke parit sekunder), longbed (ke
parit yang lurus dan berliku-liku) dan traktor tanki (pengangkutan limbah cair
dari IPAL/Instalasi Pengolah Air Limbah) ke areal tanam (Dirjen Perkebunan,
2008).
2.1.2.
Potensi dan Karakteristik Industri Kopi
Menurut Londra (2002) hasil pengolahan kopi akan menyisakan limbah, yaitu
kulit buah dan kulit biji. Limbah kopi dibedakan menjadi
dua macam, yaitu limbah pada pengolahan kopi merah (masak) dan limbah
pengolahan kopi hijau (mentah). Pengolahan kopi merah diawali dengan pencucian,
perendaman, dan pengupasan kulit luar. Proses ini akan menghasilkan 65 persen
biji kopi dan 35 persen limbah kulit kopi. Berdasarkan data statistik produksi Dirjen Perkebunan
tahun 2012 produksi kopi mencapai 657.138 ton/tahun, adapun
limbah yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8.
Tabel
8. Rata-rata jenis dan estimasi potensi limbah kopi Perkebunan Besar Indonesia
berdasarkan jumlah produksi biji per tahun (tahun 2012).
Jenis
|
Estimasi potensi (%)*)
|
Jumlah
(ton/tahun)**)
|
Buah
basah
|
100
|
657.138
|
Biji
|
52
|
341.711,76
|
Kulit buah
|
42
|
278.997,96
|
Kulit biji
|
6
|
39.428,28
|
*) Londra, M dan Andri K. B, 2002.
**)Dirjen
Perkebunan RI 2013
Pengolahan kopi secara
basah akan menghasilkan limbah padat berupa kulit buah pada proses pengupasan
buah (pulping) dan kulit tanduk pada saat penggerbusan (hulling). Limbah padat
kulit buah kopi (pulp) belum dimanfaatkan secara optimal, umumnya ditumpuk di
sekitar lokasi pengolahan selama beberapa bulan, sehingga timbulnya bau busuk
dan cairan yang mencemari lingkungan. Limbah kulit buah kopi memiliki kadar
bahan organik dan unsur hara yang memungkinkan untuk memperbaiki tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi adalah 45,3 %,
kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 % dan kalium 2,26 %. Selain itu kulit buah
kopi juga mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha areal pertanaman
kopi akan memproduksi limbah segar sekitar 1,8 ton setara dengan produksi
tepung limbah 630 kg (Dirjen Perkebunan, 2008).
2.1.3.
Potensi dan Karakteristik Industri Perkebunan Tebu
Perkebunan tebu di Indonesia pada tahun 2012 menempati luas area 461.082
ha. Perkebunan tersebut tersebar di
berbagai wilayah. Tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula.
Pengolahan tebu menjadi gula menyisakan limbah, baik limbah padat maupun limbah
cair. Berdasarkan data statistik Dirjen Perkebunan RI produksi tebu tahun
2012 adalah 2.438.198 ton/ha, bila jumlah produksi gula yang dihasilkan
7.0% maka jumlah limbah hasil pengolahan tebu dapat dihitung dengan
komposisi rata-rata sebagaimana tercantum pada Tabel 9.
Tabel 9.
Rata-rata jenis dan estimasi potensi limbah tebu Indonesia berdasarkan jumlah
produksi gula tebu pertahun (tahun 2012).
Jenis
|
Estimasi potensi (%) *)
|
Jumlah
(ton/tahun)**)
|
Gula
|
7.0
|
170.673,86
|
Tetes
|
4.5
|
109.718,91
|
Ampas (bagasse)
|
32
|
780.223,36
|
Blotong
|
3.5
|
85.336,93
|
Abu
|
0.1
|
2.438,19
|
Limbah cair
|
52,9
|
1.289.806,74
|
Sumber:
*) Syafrudin & Astuti (2005)
**) Dirjen
Perkebunan RI 2013
Ampas tebu merupakan
limbah padat produk stasiun gilingan pabrik gula, dengan produksi 32 % tebu
yang digiling. Ampas tebu juga dapat dikatakan sebagai produk pendamping,
karena ampas tebu sebagian besar dipakai langsung oleh pabrik gula sebagai
bahan bakar ketel untuk keperluan proses memproduksi energy. Ampas tebu
mengandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila ditumpuk akan mengalami
fermentasi yang menghasilkan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94oC
akan terjadi kebakaran spontan (Yuliani dan Nugraheni, 2010).
Ampas tebu (bagasse)
merupakan sisa bagian batang tebu dalam proses ekstraksi tebu yang memiliki
kadar air berkisar 46-52%, kadar serat 43-52% dan padatan terlarut sekitar
2-6%. Komposisi kimia ampas tebu meliputi : zat arang atau karbon (C) 23,7 %,
hidrogen (H) 2 %, oksigen (O) 20 %, air (H2O) 50 % dan gula 3% ( Adriyanti et. Al, 2012).
Blotong dan abu ketel
merupakan limbah padat sisa pengolahan tebu pada pabrik gula yang memiliki
jumlah paling tinggi dibandingkan limbah lainnya. Limbah ini memiliki unsur
hara makro dan mikro yang relatif tinggi terutama P, Ca, N dan Mg. unsur-unsur
ini esensial bagi tanaman. Komposisi blotong dan abu ketel dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10.
Komposisi unsur yang terkandung pada blotong dan abu ketel limbah pengolahan
tebu
Unsur
|
Jenis Bahan
|
|
Blotong
|
Abu Ketel
|
|
N
(%)
|
1,45
|
0,05
|
P2O5
(%)
|
4,17
|
0,57
|
K2O
(%)
|
0,65
|
0,54
|
CaO
(%)
|
4,28
|
2,27
|
MgO
(%)
|
0,55
|
1,22
|
C/
Organik (%)
|
34,31
|
1,82
|
C/
N (%)
|
24,00
|
36,4
|
Na2O
(%
|
-
|
0,18
|
Fe
(%)
|
-
|
0.83
|
Mn
(ppm)
|
-
|
155,00
|
Cu
(ppm)
|
-
|
37,00
|
Zn
(ppm)
|
-
|
72,00
|
SO4
(%)
|
-
|
0,32
|
Air
105ºC (%)
|
-
|
81,82
|
Sumber: Data Sekunder , 2005 dalam Syafrudin & Astuti (2007)
Blotong atau disebut
filter cake atau filter press mud adalah limbah industri yang dihasilkan oleh
pabrik gula dari proses klarifikasi nira tebu. Penumpukan bahan tersebut dalam
jumlah besar akan menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan. Blotong mengandung bahan koloid organik yang
terdispersi dalam nira tebu dan bercampur dengan anion-anion organik dan
anorganik (Prasad, 1976 dalam Muhsin
2011). Blotong sebagian besar terdiri dari serat-serat tebu dan merupakan
sumber unsur organik yang sangat penting untuk pembentukan humus tanah. Kandungan
Hara kompos blotong berdasarkan penelitian Syafrudin dan Astuti (2007) yaitu N
1,37%; P2O5 1,81%; K2O 2,22%; Fe 0,49%; Ca 2,56%; MgO 0,53%; Mn 0,03%; pH 7,1;
Zn 80,99 ppm; Cu 44,01 ppm; C organic 16,48%; C/N ratio 12,03 %.
Blotong memiliki
potensi untuk dijadikan pupuk organik, karena komposisi blotong terdiri dari
sabut, wax dan fat kasar, protein kasar,gula (Sadar, et al 2011), total abu, SiO2, CaO, P2O5
dan MgO. Komposisi ini berbeda prosentasenya dari satu PG dengan PG lainnya,
bergantung pada pola produksi dan asal tebu (Rifa’I, 2009 dalam Muhsin 2011). Produksi blotong sekitar 3,8 % tebu. Blotong
dapat meningkatkan jumlah ruang pori tanah, berat isi tanah dan memperbesar
jumlah air tersedia dalam tanah (Santoso & Jayadheva, 1989 dalam Muhsin 2011).
Tetes (molasses)
sebagai limbah di stasiun pengolahan, diproduksi sekitar 4,5 % tebu yang
digiling. Tetes tebu sebagai produk pendamping karena sebagian besar dipakai
sebagai bahan baku industri lain seperti vitsin (sodium glutamate), alkohol
atau spritius dan bahkan untuk komoditas ekspor dalam pembuatan L-lysine dan
lain-lain. Namun untuk hal ini dibutuhkan kandungan gula dalam tetes yang cukup
tinggi, sehingga tidak semua tetes tebu yang dihasilkan dimanfaatkan untuk itu.
Akibatnya tidak sedikit pabrik gula yang mengalami kendala dalam penyimpanan
tetes sampai musim giling berikutnya, tangki tidak cukup menampung karena tetes
kurang laku, atau memungkinkan terjadinya ledakan dalam penyimpanan di tangki
tetes sehubungan dengan kondisi proses atau komposisi (Yuliani dan Nugraheni,
2010).
2.1.4.
Potensi dan Karakteristik Limbah Industri Kakao
Berdasarkan data Dirjen
Perkebunan tahun 2012 produksi kakao mencapai 833.310 ton/ha. Jumlah biji yang dihasilkan 24 % (Nasrullah
dan A. Ella, 1993) sehingga jumlah limbah hasil pengolahan kakao dapat
perkirakan sebagaimana disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Rata-rata
jenis dan estimasi potensi limbah kakao Perkebunan Besar Indonesia berdasarkan jumlah produksi biji per tahun
(tahun 2012)
Jenis
|
Estimasi
potensi (%)*)
|
Jumlah (ton/tahun)**)
|
Buah segar
|
100
|
833.310
|
Biji
|
24
|
199.994,4
|
Kulit buah
|
74
|
616.649,4
|
Kulit biji
|
2
|
16.666,2
|
Sumber:
*) Nasrullah dan A. Ella, 1993
**) Dirjen Perkebunan RI 2013
Komponen limbah buah
kakao yang terbesar berasal dari kulit buahnya atau biasa disebut pod kakao,
yaitu sebesar 74 % dari total buah. Apabila limbah pod kakao ini tidak
ditangani secara serius maka akan menimbulkan masalah lingkungan. Pod kakao
merupakan limbah lignoselulosik yang mengandung lignin, selulosa dan
hemiselulosa. Lignoselulosa merupakan serat kasar yang memiliki komponen energi
terbesar pada limbah. Limbah lignoselulosik dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan etanol, sehingga menghindari persaingan dengan bahan pangan. Hasil
penelitian Ashadi (1998) menunjukkan bahwa serat kasar pod kakao mengandung
20.11 % lignin, 31.25 % selulosa, dan 48.64 % hemiselulosa.
Kandungan hara mineral
kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara kalium dan nitrogen. Dilaporkan
bahwa 61% dari total buah kakao disimpan di dalam kulit buah. Penelitian yang
dilakukan oleh Goenadi et.al (2000) dalam Isroi 2007 menunjukkan bahwa
kandungan hara kompos yang dibuat dari kulit buah kakao adalah 1.81 % N, 26.61
% C-organik, 0.31% P2O5, 6.08% K2O, 1.22% CaO,
1.37 % MgO, dan 44,85 cmol/kg KTK.
2.2.
Pengelolaan Limbah Industri Perkebunan sebagai Pupuk Organik
Pupuk organik adalah
pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan
dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk
padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/atau mikroba, yang
bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organic tanah serta
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Permentan Nomor 70, 2011). Menurut Crawford 2003 dalam Isroi 2007, pupuk organik atau kompos
adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik
yang dapat dipercepat secara artifisial
oleh populasi berbagai
macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat,
lembab, dan aerobik atau anaerobik.
Sedangkan proses pengomposan adalah proses dimana bahan organik
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.
Pupuk organik ibarat
multivitamin untuk tanah pertanian. Pupuk organik akan meningkatkan kesuburan
tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Pupuk organik memperbaiki struktur
tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan
kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba
tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas
mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan
menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas
mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan
penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan pupuk organik juga cenderung lebih baik
kualitasnya daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia (Isroi, 2007).
Limbah industri
perkebunan baik yang bersifat padat dan cair sangat berpotensi untuk diolah
menjadi bahan yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah secara alami
yaitu pupuk organik. Limbah-limbah tersebut mengandung bahan organik yang
tinggi. Baon et al. 2005 dalam Isroi 2007 melaporkan bahwa
rendahnya kandungan bahan organik tanah di perkebunan kopi dan kakao disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara penambahan dan hilangnya bahan organik dari tanah
utamanya melalui proses oksidasi biologis dalam tanah.
Oleh karena itu
pengomposan bisa menjadi metode yang cocok untuk mengkonversi limbah menjadi
pupuk organik yang dapat digunakan media tumbuh. Pengomposan limbah biomassa
harus dilakukan untuk menghindari pengaruh negatif limbah tersebut terhadap
tanaman akibat nisbah C/N bahan yang tinggi, di samping untuk mengurangi volume
bahan agar memudahkan dalam aplikasi serta menghindarkan terjadinya pencemaran
lingkungan. Laju pengomposan tergantung pada ukuran partikel, kandungan lengas
bahan, pengadukan, aerasi dan volume tumpukan (Baon et al.
2005 dalam Dirjen Perkebunan 2008).
Campuran kulit biji kakao+kulit
pisang (1:1) yang diaplikasikan pada tanah yang tercemar minyak bumi bermanfaat
sebagai biostimulasi mikroba pendegradasi total hidrokarbon minyak bumi di dalam tanah yang tercemar
(Agbor, et. al, 2011). Gabungan kulit biji kakao dan kotoran
ayam dalam ternyata mampu meningkatkan. pertumbuhan dan produksi mentimun hal
ini karena kulit biji kakao sebagai sumber potasium (0.46
me/100g soil) yang baik untuk produksi tanaman. (Agyarko dan Asiedu, 2012)
2.2.1.
Limbah Padat
Sebagian besar limbah
padat industri perkebunan seperti kulit buah kakao, kulit buah kopi, kelapa
sawit, blotong serta ampas tebu sangat berpotensi untuk diolah menjadi bahan
yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah secara alami. Limbah kulit
buah kakao tersebut merupakan sumber bahan baku (biomassa) yang sangat
potensial sebagai sumber bahan baku pupuk organik (Sri Mulato et al., 2005 dalam Dirjen Perkebunan, 2008).
Limbah kulit buah kopi telah hancur memiliki
kandungan 1,88 % N; 2,04% K;0,53% Ca dan 0,39 % Mg (Trisilawati dan Gusmaini
1999 dalam Sudiarto dan Gusmaini 2004). Kadar C-organik kulit buah kopi adalah
45,3 %, kadar nitrogen 2,98 %, fosfor 0,18 % dan kalium 2,26 %. Selain itu
kulit buah kopi juga mengandung unsur Ca, Mg, Mn, Fe, Cu dan Zn. Dalam 1 ha
areal pertanaman kopi akan memproduksi limbah segar sekitar 1,8 ton setara
dengan produksi tepung limbah 630 kg.
Menurut Sarwono 2008,
Tandan Kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai subsitusi pupuk karena
kandungan unsur nitrogen 1,5%, phospat 0,5 % kalium 7.3% dan Magnesium 0.9 %.
Hasil
penelitian Sudirman (2011) menunjukkan bahwa TKS dapat digunakan sebagai
substrat produksi jamur tiram dengan efisiensi biologis yang mencapai 152%.
Bahan kompos akhir dari
blotong dan ampas tebu cocok untuk digunakan karena mengandung karakteristik dari
pH, fitotoksisitas rendah, dan cenderung bebas dari patogen karena suhu tinggi,
kedua kompos merupakan sumber nutrisi yang baik untuk tanaman seperti N
(1,6-1,8%), P (1,2%), K (0,5%), Ca (10%) dan Mg (0,5%). (Meunchang, 2004). Kompos dari ampas tebu juga berpotensi
sebagai media tumbuh untuk budidaya tanaman selada karena meningkatkan meningkatkan
konsentrasi hara N, P, K, Mg, Ca, Cu, Mn, Zn, dan Pb (Jayasinghe, 2012)
2.2.2.
Limbah Cair
Kandungan hara limbah
cair PKS adalah 450 mg N/l, 80 mg P/l, 1.250 mg K/l dan 215 mg/l. Sistem aplikasi limbah cair dapat dilakukan
dengan system sprinkle (air memancar), flatbed (melalui pipa ke bak-bak
distribusi ke parit sekunder), longbed (ke parit yang lurus dan berliku-liku)
dan traktor tanki (pengangkutan limbah cair dari IPAL/Instalasi Pengolah Air
Limbah) ke areal tanam (Dirjen Perkebunan, 2008).
Menurut Loebis dan Tobing 1989 dalam Widhiastuti et al. 2006, limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit mengandung
unsur hara yang tinggi seperti N, P, K, Mg, dan Ca, sehingga limbah cair
tersebut berpeluang untuk digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa
sawit, di samping memberikan kelembaban tanah, juga dapat meningkatkan sifat
fisik–kimia tanah, serta dapat meningkatkan status hara tanah. Whidiastuti et al. (2006) melakukan penelitian di
perkebunan kelapa sawit PT Tapian Nadenggan SMART Group, Langga Payung, Kabupaten Labuhan Batu,
Sumatera Utara yang sejak tahun 1990 telah mengaplikasikan LPKS-nya ke areal
perkebunan. Aplikasi LPKS ke areal perkebunan diambil dari kolam anaerob dengan
sistem flat beds. Aplikasi LPKS secara flat beds, yaitu aplikasi limbah cair
dengan teknik parit bersekat. Pembuatan konstruksi dibuat di gawangan mati, di
antara baris pohon yang dihubungkan dengan saluran parit dengan kemiringan
tertentu. Limbah cair dipompakan dari kolam limbah ke bak penampungan (bak
distribusi) yang berada di areal paling atas, setelah itu dialirkan ke
masing-masing flat beds hingga flat beds terakhir. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemanfaatan LPKS dapat berfungsi sebagai pupuk organik dengan
meningkatkan sifat fisik–kimia tanah, biodiversitas tanah, menurunkan kehadiran
gulma penting pada perkebunan kelapa sawit, dan meningkatkan total bakteri
tanah.
Pemanfaatan limbah cair
pabrik kelapa sawit dari kolam anaerobik sekunder dengan BOD 3.500-5000
mg/liter yang dapat menyumbangkan unsur hara terutama N dan K, bahan organik,
dan sumber air terutama pada musim kemarau. Setiap pengolahan 1 ton TBS akan
menghasilkan limbah padat berupa tandan kosong sawit (TKS) sebanyak 200 kg,
sedangkan untuk setiap produksi 1 ton minyak sawit mentah (MSM) akan menghasilkan 0,6-0,7 ton
limbah cair dengan BOD 20.000-60.000 mg/liter (Dirjen
Perkebunan, 2008).
2.3.
Penggunaan Limbah Industri Perkebunan Lainnya
2.3.1.
Pakan Ternak
Limbah industri
perkebunan kelapa sawit, kopi, tebu dan kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ternak. Limbah hasil pengolahan kelapa sawit mengandung serat kasar yang tinggi,
namun kandungan protein kasar lumpur sawit dan bungkil kelapa sawit secara berurutan
yaitu 14,58 % BK dan 16,33 % BK, yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan
ternak ruminansia. Pemanfaatan limbah pengolahan hasil kelapa sawit sebagai
ransum komplit (100%) ataupun sebagai pakan penguat lainnya telah banyak
dilakukan untuk ternak ruminansia. Wong dan Zahari (1992) dalam Indrianingsih
et al., 2005, menyampaikan bahwa
bungkil inti sawit dapat diberikan 50% untuk sapi dan 30% untuk domba .
Limbah sumber serat
dari tebu (pucuk, bagas dan pith) dapat digunakan sebagai komponen pakan ternak
bila disertai beberapa perlakuan untuk menaikkan kecernaan dan konsumsi oleh
ternak, dan/atau suplementasi dengan bahan lain untuk menyeimbangkan ketersediaan
zat-zat makanan di dalam rumen maupun untuk tujuan produksil (Kuswandi, 2007).
Hasil ikutan tanaman tebu merupakan pakan sumber serat atau energi, adalah daun
tebu, ampas tebu (bagase), blotong (kotoran yang terpisah saat penapisan nira
tebu) dan tetes (molases) ( Mariyono dan Krishna, 2009).
Bagas merupakan pakan
limbah yang berkualitas rendah karena mengandung kadar lignoselulosa yang
tinggi. Intake bagas dapat ditingkatkan bila dicampur dengan 55% molases dalam
ransumnya. Karena bagas merupakan bahan pembawa yang baik untuk molases, maka
ransum ini akan sangat bermanfaat bila diberikan kepada ternak pada level
optimum sekitar 20–30% konsentrasi ransum. Nilai nutrisi bagas dapat
ditingkatkan dengan perlakuan alkali atau pemanasan, sehingga karbohidrat mudah
dicerna oleh ternak (ILCA, 1979 dalam
Indrianingsih et al. 2005)
Molases adalah tetes
tebu yang umumnya digunakan sebagai sumber energi dan untuk meningkatkan
palatibilitas pakan basal, meningkatkan kandungan mineral Ca, P dan S, atau
sebagai perekat dalam pembuatan pelet. Molases dapat memberikan hingga 80%
energi metabolisibel untuk sapi potong dan pertambahan berat badan harian
antara 0,7–0,9/kg/hari pada saat persediaan rumput terbatas.
Kulit buah coklat
mengandung kadar protein kasar (6 – 12%) sedikit lebih tinggi dari jerami padi,
tetapi hampir setara dengan rumput. Kandungan serat kasar dalam kulit buah
coklat memiliki kadar selulosa (27–31%) dan hemiselulosa (10–13%) yang lebih
rendah daripada jerami padi. Sementara itu, kadar lignin berkisar antara 12 –
19% lebih tinggi 2 – 3 kalinya dibandingkan dengan jerami padi (6%). Secara
umum tingkat kecernaan kulit buah cokelat lebih rendah dibandingkan dengan
jerami padi.
Limbah kulit kopi mempunyai
potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pakan ayam, berdasarkan
analisis input-output usaha, ditunjukkkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari
pembesaran ayam selama 60 hari dengan pakan kontrol dan pakan yang mengandung
5% limbah kulit kopi adalah Rp. 1.401/ekor dan Rp. 1.345/ekor (Muryanto, 2005)
Dalam memanfaatkan
limbah hasil perkebunan sebagai pakan ternak, seleksi jenis limbah tanaman
perlu dilakukan untuk mengurangi efek samping terhadap kesehatan ternak dan
keamanan produknya. Seleksi dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu
mutu nutrisi pakan perkebunan, kandungan toksin dan/atau antinutrisi didalam
tanaman dan cemaran berbahaya pada tanaman. Peningkatan mutu limbah hasil
perkebunan sebagai pakan ternak umumnya dilakukan melalui pengolahan terlebih
dahulu sebelum limbah pertanian dan perkebunan diberikan kepada ternak, yang
secara garis besarnya terdiri dari:
· Perlakuan
fisik: pemotongan menjadi bagian yang lebih kecil, penggilingan, pemanasan,
perendaman, pengeringan atau penyinaran.
· Perlakuan
kimia: dengan penambahan basa, asam dan oksidasi seperti penambahan NaOH,
Ca(OH)2, ammonium hidroksida, gas klor dan sulfur dioksida.
· Perlakuan
biologi: melalui pengomposan, fermentasi, penambahan enzim, atau menumbuhkan
jamur dan bakteri.
· Kombinasi
diantara ketiga perlakuan tersebut diatas.
2.3.2.
Arang Aktif
Cangkang atau tempurung
kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai arang aktif. Pengolahan cangkang kelapa sawit sebagai arang
aktif adalah salah satu cara mudah untuk menambah nilai ekonomis. Pemanfaatan arang aktif dalam bidang industri
sangat banyak, diantaranya sebagai desulfurisasi pada pemurnian gas dan
pengolahan LNG, bahan pembantu proses penyaringan dan lain-lain.
Cangkang kelapa sawit
merupakan salah satu bahan yang dapat dijadikan arang aktif. Arang aktif atau
karbon aktif adalah karbon dengan struktur amorf yang dengan perlakuan khusus
akan memiliki luas permukaan yang besar sehingga memiliki kemampuan penyerapan
lebih besar dibandingkan dengan arang biasa. Arang aktif dapat dibuat dari
bahan yang mengandung karbon baik organic maupun anorganik asal bahan tersebut
memiliki struktur berpori (Ditjen PPHP, Deptan, 2006).
Kualitas arang aktif
tergantung pada proses karbonisasi dan proses aktivasi. Hasil penelitian ini
menujukkan bahwa aktifator yang dipakai adalah H3PO4
dengan konsentrasi 1, 3, 5, 7 dan 9 %, dan waktu perendaman 16, 18, 20, 22, dan
24 jam. Penelitian dapat disimpulkan
bahwa hasil terbaik yaitu pada suhu karbonisasi 400oC selama 0,5 jam,
waktu perendaman 22 jam dan konsentrasi aktifator 9 %, menghasilkan arang aktif
dengan kondisi: Kadar air ; 7,36 %,
Kadar abu ; 2,77 %, Volatile Matter ;
8,21 %, Daya serap Iodine (Kurniati, 2008).
2.3.3.
Papan Partikel
Sabut kelapa sawit bisa
dijadikan sebagai bahan pembuatan papan partikel yang berarti bisa mengatasi
pembuangan limbah sabut kelapa sawit sekaligus memberikan nilai tambah secara
ekonomi. Minyak yang terdapat pada sabut kelapa sawit dapat mengganggu proses
perekatan dalam pembuatan papan partikel. Oleh karena itu kadar minyak harus
dikurangi seminimal mungkin. Pengurangan kadar minyak dapat dilakukan dengan
memasak sabut kelapa sawit dalam larutan NaOH 10% selama 1 jam (Ditjen PPHP
Deptan, 2006).
2.3.4.
Pulp
Pemanfaatan sabut
kelapa sawit merupakan alternatif bahan baku pabrik kertas untuk menghasilkan
kertas HVS, doorslag, karton, duplicator/cycto style, dll (Ditjen PPHP Deptan,
2006). Kulit buah kakao (Shel fod Husk)
merupakan hasil samping (limbah) dari agrobisnis pemrosesan biji coklat yang
sangat potensial untuk dijadikan salah satu Pulp. Pulp adalah bahan sellulosa yang
dapat diolah dengan lebih lanjut menjadi kertas, rayon, cellulosa asetat dan
turunan cellulosa yang lain. Kulit buah kakao mengandung bahan kering 88%,
protein kasar 8%, dan serat kasar 40,1%. Syarat–syarat bahan baku yang digunakan
dalam pulp, yakni berserat, kadar alpha sellulosa lebih dari 40 %, kadar
ligninnya kurang dari 25 %, kadar air maksimal 10 %, dan memiliki kadar abu
yang kecil.
2.3.5
Bahan Pembuat Nata
Limbah industri kakao
dalam bentuk cairan pulp dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan nata
de cacao. Diperlukan pengenceran dan penjernihan dengan menggunakan arang aktif
sebelum digunakan sebagai media fermentasi nata. Terdapat interaksi nyata (α =
0,05) antar perlakuan konsentrasi arang aktif dan pengenceran pada tingkat
kekeruhan dan warna kuning cairan limbah. Perlakuan terbaik diperoleh dari
perlakuan konsentrasi arang aktif 5% dengan pengenceran medium 1:3. Perlakuan
konsentrasi sukrosa dan (NH4)2SO4 memengaruhi
secara nyata terhadap ketebalan, rendemen, kadar serat, kadar air dan tekstur
nata, namun interaksi dari kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap
parameter-parameter tersebut. Perlakuan terbaik diperoleh dari kombinasi perlakuan
konsentrasi sukrosa 4% dan konsentrasi (NH4)SO4 0,4% (Yunianta,
2010).
Menurut Suwarda (2012), cara pembuatan nata de cacao adalah sebagai
berikut:
Nata de cacao dapat diproduksi dalam skala rumah tangga atau industri kecil. Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan nata de cacao adalah starter nata (A. xylinum), pulpa yang telah diencerkan, gula pasir, khamir/yeast, urea, asam cuka (untuk mengatur keasaman media), dan air bersih. Alat dan perlengkapan yang diperlukan adalah kain saring, timbangan, gelas ukur, wadah fermentasi, kertas koran, karet gelang, baskom, panci perebus, kayu pengaduk, kompor, pisau, talenan, pH-meter, serta rak atau meja untuk menempatkan wadah fermentasi. Kondisi yang ideal untuk pertumbuhan mikroba nata adalah pada pH media 4-6 dengan suhu 30-35°C. Ruang dan alat yang digunakan untuk proses fermentasi harus bersih dan kering. Pembersihan atau sterilisasi ruang dan alat dapat menggunakan alkohol atau asam cuka pekat. Secara umum, proses pembuatan nata de cacao dapat dilihat pada Gambar 3.
Nata de cacao dapat diproduksi dalam skala rumah tangga atau industri kecil. Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan nata de cacao adalah starter nata (A. xylinum), pulpa yang telah diencerkan, gula pasir, khamir/yeast, urea, asam cuka (untuk mengatur keasaman media), dan air bersih. Alat dan perlengkapan yang diperlukan adalah kain saring, timbangan, gelas ukur, wadah fermentasi, kertas koran, karet gelang, baskom, panci perebus, kayu pengaduk, kompor, pisau, talenan, pH-meter, serta rak atau meja untuk menempatkan wadah fermentasi. Kondisi yang ideal untuk pertumbuhan mikroba nata adalah pada pH media 4-6 dengan suhu 30-35°C. Ruang dan alat yang digunakan untuk proses fermentasi harus bersih dan kering. Pembersihan atau sterilisasi ruang dan alat dapat menggunakan alkohol atau asam cuka pekat. Secara umum, proses pembuatan nata de cacao dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses Pembuatan Nata De
Cacao
Pulpa diencerkan dengan menambahkan air dengan perbandingan 1 bagian pulpa dan 19 bagian air atau pengenceran 20 kali. Cairan pulpa hasil pengenceran kemudian diaduk, disaring, dan dicampur dengan bahan lain, yaitu gula pasir, khamir/yeast, urea, dan asam cuka kemudian direbus sambil diaduk. Jika telah mendidih, media dimasukkan ke dalam wadah fermentasi dengan kedalaman sekitar 3 cm lalu segera ditutup dengan kertas koran. Setelah suhu media mencapai suhu ruang (30-35°C), starter nata diinokulasikan ke dalam media sebanyak 5% dari volume media, lalu botol starter dan wadah fermentasi segera ditutup kembali. Proses fermentasi berlangsung selama 8-12 hari dengan ketebalan nata yang diperoleh sekitar 1-1,5 cm. Setelah 8-12 hari, lapisan nata yang terbentuk diambil kemudian dicuci dan direndam dalam air bersih selama satu malam. Air rendaman lalu dibuang dan nata dipotong-potong seukuran dadu atau sesuai selera. Potongan nata direbus dalam air hingga tiga kali atau sampai air rebusan tidak asam lagi. Nata yang telah netral kemudian direbus dalam air gula (20- 30%) dan selanjutnya dapat langsung dikonsumsi. Untuk memberi variasi rasa dan aroma pada nata de cacao, air gula dapat ditambah pencita rasa seperti vanili atau daun pandan, atau dapat pula diganti dengan air sirup
2.3.6.
Bahan Bakar Alternatif
Biomassa yang sangat
potensial untuk bahan baku bioenergi di Indonesia berasal dari minyak sawit
yang dapat digunakan sebagai bahan baku
dari sumber bahan bakar alternatif termasuk bio oil, bioethanol, biometana,
biopellet, biobriquette (Tiwari, 2011), dan pembangkit listrik biomassa.
(Hambali, et al 2010). biofuel (Yang, et
al 2006)
Molase adalah hasil
samping yang berasal dari pembuatan gula tebu (Saccharum officinarum). Tetes tebu berupa cairan kental dan
diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula. Molase tidak dapat lagi dibentuk
menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar tinggi 50-60%, asam
amino dan mineral. Tingginya kandungan gula dalam molase sangat potensial
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Dari 1000 Kg molases terkandung
450–520 Kg gula yang bisa menghasilkan 250 L etanol. Perbandingan hasil
biomassa dengan bioetanol adalah 4 : 1. Dari hitung–hitung biaya produksi oleh
orang yang berkecimpung dibidang pengembangan bahan bakar bioetanol, pengembangan
bioetanol berbahan baku molases bisa didapatkan tingkat keuntungan sampai 24%,
lebih tinggi dari bioetanol berbahan baku singkong yang tingkat keuntungannya
hanya mencapai 19% (Yumaiha dan Aini, 2010).
Penelitian pembuatan
bioetanol dari kulit kopi dengan proses fermentasi dapat disimpulkan bahwa:
kulit kopi dapat digunakan sebagai bahan baku alternatif pembuatan bioetanol
dengan proses hidrolisis dan fermentasi. Kulit kopi yang mengandung selulosa
sebesar 49,87 %, setelah di hidrolisis menggunakan katalis HCl konsentrasi 20 % (v/v) menghasilkan glukosa
dengan kadar 10,04 %. Proses fermentasi pada penambahan starter 11 % dan waktu fermentasi
7 hari menghasilkan bioetanol berkadar 9,04 %. Pada proses fermentasi ini bakteri
Zymomonas mobilis mampu mengkonversi glukosa sebesar 97,99 %,
dan yield etanol diperoleh sebesar 51,02
%. Proses destilasi yang dilakukan selama 8 jam menghasilkan bioetanol dengan
kadar 38,68 % (Siswati et al., 2010).
2.3.7
Polymer Superabsorben
Pada saat ini telah
dikembangkan suatu polimer superabsorben dari bahan ampas tebu yang dapat
mengabsorpsi air dan mempunyai daya serap sampai ratusan kali lipat
dibandingkan berat polimernya. Polimer superabsorben dapat digunakan sebagai
soil conditioner yang berfungsi untuk penyerap dan penyimpan air tanah, pemberi
nutrisi bagi tanaman, dan dapat memperbaiki sifat tanah. Selulosa
dari ampas tebu dapat diekstraksi dengan menggunakan larutan NaOH 15 % dan HCl 0,1
M pada suhu didih larutan. Campuran selulosa (ampas tebu) dan Poliakrilamida
(PAM) dapat
dibuat
menjadi polimer superabsorbent (PCS) dengan metode grafting menggunakan radiasi
pengion dari Mesin Berkas Elektron (MBE) 350 keV/10 mA (Andriyanti, et al.
2012).
2.3.8. Pengendali Pencemaran
Biostimulation mikroba pendegradasi
tanah tercemar minyak mentah menggunakan kulit biji kakao dan kulit pisang menunjukkan
bahwa pod kakao sekam+kulit pisang (1:1) memiliki lebih memanfaatkan potensi
bio-dari amandemen lainnya dan dengan demikian menunjukkan bahwa Bentuk
gabungan dari limbah ini harus dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan
terbaik dalam degradasi total minyak bumi hidrokarbon di dalam tanah (Agbor, et.
al, 2011).
BAB III
PENUTUP
Perkebunan yang dijalankan
sebagai roda penggerak ekonomi masyarakat petani maupun dalam skala industri
menghasilkan berbagai produk dan sejumlah besar
limbah baik yang berupa limbah padat maupun cair, yang mungkin memiliki
dampak yang signifikan terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan benar. Limbah
yang dihasilkan dari industria perkebunan secara umum masih memiliki kandungan bahan
organik yang tinggi. Pengelolaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kontaminasi
air tanah melalui pencucian atau melalui air limpasannya. Praktek manajemen limbah
yang tidak tepat juga dapat menimbulkan masalah soaial lainnya. Oleh karena
itu, manajemen lingkungan harus menempatkan penekanan terbesar dalam minimisasi
limbah di sumber atau dengan daur ulang. Kompos merupakan salah satu metode
alternatif untuk pengelolaan limbah dari industry perkebunan.
Industri tanaman
perkebunan seperti kelapa sawit, kakao, tebu dan kopi menghasilkan limbah. Pengelolaan limbah industri perkebunan akan
menghasilkan sumberdaya dalam bentuk lain yang bermanfaat untuk berbagai
jenis keperluan, baik sebagai pupuk organik bagi tanaman, sebagai pakan ternak,
sebagai arang aktif, sebagai papan partikel, sebagai biogas, bahkan masih
banyak bentuk pemanfaatan lainnya
DAFTAR
PUSTAKA
Agbor, R. B, Ekpo, I. A. Osuagwu A.N.,
Udofia, U.U Okpako E.C and Antai, S.P. 2012. Biostimulation of microbial
degradation of crude oil polluted soil using cocoa pod husk and plantain peels.
J. Microbiol. Biotech. Res. 2
(3):464-469.
Agyarko K and E. K. Asiedu. 2012. Cocoa
Pod Husk and Poultry Manure on Soil Nutrients and Cucumber Growth. Advances in Environmental Biology,
6(11): 2870-2874.
Andriyanti W., Suyanti, Ngasifudin,
2012, Pembuatan Dan Karakterisasi Polimer Superabsorben Dari Ampas Tebu, Volume
13, Januari.
Dirjen
Perkebunan. 2008. Pedoman Teknis Pemanfaatan Limbah Perkebunan Menjadi Pupuk
Organik. http://www.google.com.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Luas Areal
Kakao Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Luas Areal
Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Luas Areal Kopi
Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Luas Areal Tebu
Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Produksi Kakao
Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Produksi Kelapa
Sawit Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Produksi Kopi
Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen Perkebunan. 2013. Produksi Tebu
Menurut Provinsi di Seluruh Indonesia, 2008-2012. http://www.deptan.go.id.
Diakses 20 April 2013.
Ditjen PPHP Deptan. 2006. Pedoman
Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Jakarta.
Hambali Erliza,
Thahar Arfie, Komarudin Aan. 2010. The Potential Of Oil Palm And Rice Biomass As
Bioenergy Feedstock. 7th Biomass Asia Workshop, November 29 – December 01,
Jakarta, Indonesia
Harsini, T. dan
Susilowati. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao dari Limbah Perkebunan Kakao sebagai
Bahan Baku Pulp Dengan Proses Organosolv. Jurnal
Ilmiah Teknik Lingkungan. 2 (2).
Indraningsih, R.
Widiastuti dan Y. Sani. 2005. Limbah Pertanian dan Perkebunan sebagai Pakan
Ternak: Kendala dan Prospeknya. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam
Pengendalian Penyakit Stategis pada Ternak Ruminansia Besar.
Isroi. 2007. Pengomposan Limbah Kakao. Materi
disampaikan pada acara Pelatihan TOT Budidaya Kopi dan Kakao Staf, Jember, 25 –
30 Juni http://www.isroi.org. Diakses 20 April 2013.
Jayasinghe G. Y. 2012. Sugarcane
bagasses sewage sludge compost as a plant growth substrate and an option for
waste management. Clean Techn Environ
Policy. 14: 625–632
Kuswandi, 2007. Teknologi Pakan
Untuk Limbah Tebu (Fraksi Serat) Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa. 17 (2).
Kurniati, E.
2008. Pemanfaatan Cangkang Kelapa Sawit Sebagai Arang Aktif. Jurnal Ilmu Teknik. 8 (2): 96-103
Londra, M. dan Andri, K. B. 2002.
Potensi Pemanfaatan Limbah Kopi untuk Pakan Penggemukan kambing Peranakan Etawah.
Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk
Pertanian, ISBN 978-979-3450-28-5.
Mariyono dan Krishna, N.H. 2009. Pemanfaatan
dan Keterbatasan Hasil Ikutan Pertanian serta Strategi Pemberian Pakan Berbasis
Limbah Pertanian Untuk Sapi Potong. Wartazoa. 19 (1).
Meunchang, Sompong , Panichsakpatana
Supamard, Weaver Richard W. 2004. Co-composting of filter cake and bagasse;
by-products from a sugar mill. Bioresource
Technology. 96: 437–442.
Muhsin, A. 2011. Pemanfaatan Limbah
Hasil Pengolahan Pabrik Tebu Blotong Menjadi Pupuk Organik. Industrial
Engineering Conference 2011, 5 November 2011.
Murni, R., Suparjo, Akmal, Ginting B. I. 2008.
Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Buku Ajar. Laboratorium Makanan Ternak.
Fakultas peternakan Universitas Jambi. http/www.Jojo66.filesword press-com.
Diakses 25 april 2013.
Muryanto, U. Nuschati, D.
Pramono dan T. Prasetyo. 2005. Potensi Limbah Kulit Kopi Sebagai Pakan Ayam. Lokakarya Nasional Inovasi
Teknologi Dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdaya Saing.
Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 70. 2011 Tahun 2011. Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Jakarta.
Sardar Suneela, Ilyas Suhaib Umer, Malik
Shahid Raza and Javaid Kashif, 2011. Compost Fertilizer production from Sugar
Press Mud (SPM). Department of Chemical Engineering, NFC-Institute of
Engineering & Fertilizer Research, Faisalabad 38090, Pakistan.
Siswati, N. D.,
M. Yatim dan R. Hidayan. 2010. Bioetanol dari Limbah Kulit Kopi Dengan Proses
Fermentasi.
Sudiarto dan
Gusmaini. 2004. Pemanfaatan Bahan Organik Insitu Untuk Efisiensi Budi Daya Jahe
Yang Berkelanjutan. Jurnal Litbang
Pertanian. 23(2).
Sudirman,
Lisdar I., Sutrisna Aditya, Listiyowati, Sri, Fadli Lukman, Tarigan Balaman.2011.
The Potency Of Oil Palm Plantation Wastes For Mushroom Production. Proceedings
of the 7th International Conference on Mushroom Biology and Mushroom Products
(ICMBMP7).
Sudiyani, Yanni, Sembiring, Kiky C,
Hendarsyah, Hendris dan A. Syarifah.
2010. Alkaline pretreatment and enzymatic saccharification of oil palm empty
fruit bunch fiber for ethanol production. Menara
Perkebunan. 78 (2): 70-74.
Suwarda, R. 2012. Nata de Cocoa: Yang
Terbuang yang Menyehatkan. BBTP Maluku, Badan Litbang Pertanian-Kementrian
Pertanian-republik Indonesia. http://maluku.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=314&Itemid=5.
Diakses 22 Mei 2013
Syafrudin dan
Astutui, A. D. 2007. Studi pengelolaan limbah pabrik gula (studi kasus pabrik
gula PT. Kebon Agung di Trangkil Pati. Jurnal
Presipitasi. 2 (1).
Tiwari Chesta, 2012. Production fuel
briquettes from sugarcane waste. EWB-UK National Research & Education
Conference ‘Our Global Future’.
Widhiastuti, R.,
D. Suryanto.,Mukhlis dan H.Wahyuningsih. 2006. Pengaruh Pemanfaatan Limbah Cair
Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit sebagai Pupuk terhadap Biodiversitas Tanah. Jurnal Ilmiah Pertanian Kultura. 41 (1):
1-8.
Yang
Haiping, Yan Rong, Liang David Tee, Chen Hanping and Zheng Chuguang. 2006.
Pvrolysis of Palm Oil Wastes for Biofuel Production. As. J. Energy Env. 7 (02): 315-323.
Yuliani, F dan
F. Nugraheni. Pembuatan Pupuk Organik (Kompos) Arang Ampas Tebu dan Limbah
Ternak.
Yumaihana dan Q.
Aini. Pembinaan Petani Tebu Melalui Teknologi Pembuatan Bioetanol dari Molases
dan Tebu.
Yunianta. 2010.
Limbah Cair Industri Kakao sebagai Bahan Pembuat Nata. Jurnal Teknik Industri. 11 (1): 31–3.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004. 2004. Tentang Perkebunan. Jakarta.
No comments:
Post a Comment