PENGARUH INOKULASI MIKORIZA VESIKULA
ARBUSKULA (MVA) CAMPURAN DAN PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KORO
PEDANG (Canavalia
ensiformis (L.) DC.) DI
TANAH ULTISOL
Titik Tri Wahyuni, Purnomowati, dan Aris Mumpuni
Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman
titik_wahyuni88@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan tanaman
koro pedang di tanah ultisol serta mengetahui kombinasi yang paling baik antar
MVA campuran dan pupuk fosfat dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman koro
pedang di tanah ultisol. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama berupa dosis
MVA campuran terdiri dari 0; 12,5; 15; 17 g/tanaman. Faktor kedua berupa dosis
pupuk fosfat terdiri dari 0; 0,2; 0,3; 0,4 g/tanaman. Setiap kombinasi
perlakuan diulang tiga kali. Parameter utama yang diamati berupa tinggi
tanaman, diameter batang, berat kering tanaman bagian atas, derajat infeksi dan
kandungan P jaringan tanaman, sedangkan parameter pendukungnya adalah suhu
tanah, pH tanah, dan kelembaban lingkungan. Data yang diperoleh dari hasil
pengamatan dianalisis dengan uji F pada tingkat kesalahan 5 % dan 1 %, pada
perlakuan dengan hasil uji F yang menunjukkan pengaruh nyata atau sangat nyata
maka dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan tingkat kesalahan 5 % dan
1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara MVA campuran dan pupuk
fosfat tidak mampu meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang dan berat
kering tanaman bagian atas. Pupuk
fosfat 0,3 g/tanaman merupakan dosis yang paling efektif dalam meningkatkan
derajat infeksi, MVA 15 g/tanaman dan
pupuk fosfat 0,3 g/tanaman merupakan dosis yang efektif dalam meningkatkan
kandungan P total jaringan.
Kata kunci : koro
pedang, tanah ultisol, Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) dan pupuk fosfat.
PENDAHULUAN
Koro pedang (Canavalia
ensiformis (L.) DC.) merupakan
tanaman kacang-kacangan yang secara turun temurun telah dibudidayakan di
Indonesia dan dinilai mampu menggantikan kedelai yang saat ini sebagian besar
masih diimpor. Koro pedang dapat diolah menjadi tahu, tempe, maupun
pakan ternak serta makanan ringan yang proses pengolahannya selama ini sangat
bergantung pada kedelai. Selain itu, ekstrak biji koro pedang juga dapat
meningkatkan ketahanan tubuh dan mencegah penyakit kanker. Namun produksi koro
pedang di Indonesia masih rendah sehingga tidak dapat memenuhi permintaan pasar
(Anonim, 2009).
Usaha untuk meningkatkan produksi koro pedang dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi
merupakan usaha meningkatkan hasil dengan cara memperbaiki teknik budidaya pada
lahan tetap antara lain melalui penggunaan varietas unggul, pestisida dan
pemberian pupuk buatan, sedangkan ekstensifikasi merupakan usaha peningkatan
hasil melalui perluasan lahan pertanian. Ekstensifikasi di Indonesia ditujukan
pada lahan yang bermasalah seperti tanah ultisol yang mempunyai kandungan unsur
hara rendah.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan tanah
ultisol adalah rendahnya pH tanah atau kemasaman tanah yang tinggi dapat
berpengaruh terhadap ketersediaan unsur P bagi tanaman. Menurut Soepardi (1986)
pada tanah masam, sebagian besar fosfat tidak tersedia bagi tanaman karena
fosfat terikat oleh Al (alumunium) dan Fe (besi) menjadi alumunium fosfat atau
besi fosfat. Untuk mengatasi kekurangan unsur P pada tanah ultisol dapat
dilakukan dengan pemupukan fosfat sebagai sumber unsur hara P. Pemupukan P
diberikan untuk meningkatkan suplai unsur P dan diharapkan dengan suplai unsur
P yang cukup akan meningkatkan penyerapan unsur P oleh tanaman. Gardner et al., (1991) menyatakan bahwa
peningkatan ketersediaan P akan merangsang pembentukan sistem perakaran tanaman
yang lebih baik, sehingga penyerapan unsur hara dan air yang dibutuhkan tanaman
dapat berjalan lancar.
Alternatif lain untuk mengatasi kekurangan unsur P pada tanah
ultisol dapat dilakukan dengan aplikasi bioteknologi yaitu dengan pemanfaatan
Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA). Cendawan pembentuk MVA merupakan mikroorganisme yang banyak digunakan untuk
meningkatkan produktivitas lahan tanpa mengganggu kelestarian lahan tersebut.
Pemanfaatan cendawan pembentuk MVA pada tanah ultisol dapat meningkatkan P
tersedia tanah karena hifa mikoriza mengeluarkan enzim phospatase yang mampu
melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman
(Subiksa, 2002).
Mikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara cendawan tanah dengan akar
tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini bersifat mutualisme karena cendawan
pembentuk mikoriza mendapat tempat hidup dan sumber karbon dari hasil
fotosintesis tanaman inang sebanyak 4-14 %, sedangkan tanaman inang mendapatkan
keuntungan antara lain dalam penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman
(Lukiwati, 1996 dalam Nurhaidah,
2005).
Cendawan pembentuk MVA
banyak berasosiasi pada famili Gramineae dan Leguminoseae. Tetapi tanaman
Leguminoseae lebih responsif terhadap cendawan pembentuk MVA dibandingkan
Gramineae karena tanaman Leguminoseae mempunyai sedikit bulu-bulu akar sehingga
dalam perkembangannya membutuhkan infeksi cendawan pembentuk MVA untuk membantu
dalam penyerapan phosphor tanah yang sukar tersedia (Lukiwati, 1996 dalam Nurhaidah, 2005). Koro pedang
merupakan anggota Leguminoseae yang juga mampu berasosiasi secara baik dengan
cendawan pembentuk MVA.
Tanaman yang
berasosiasi dengan cendawan MVA mampu tumbuh di tanah masam karena secara
efektif MVA dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro (Cruz,
1981). Mikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak
tersedia bagi tanaman terutama unsur fosfor (P). Hal tersebut karena tanaman
yang bermikoriza membentuk sistem penyerapan yang lebih luas berupa hifa
eksternal sehingga mampu menyerap P secara langsung dari sumber P terlarut.
Harley dan Smith (1983) menyatakan bahwa kemampuan cendawan MVA yang
menginfeksi perakaran akan menurun dengan makin banyaknya penambahan pupuk yang
mengandung P ke dalam tanah. Manfaat cendawan ini akan secara nyata terlihat
jika kondisi tanahnya miskin unsur hara, sedangkan pada kondisi tanah yang
subur peranan cendawan MVA ini tidak tampak begitu jelas. Hal ini karena tanah
yang subur menyebabkan tanaman mudah mendapatkan keperluannya untuk asimilasi,
sehingga tidak memerlukan cendawan MVA lagi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara MVA
campuran dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan tanaman koro pedang pada tanah
ultisol serta mengetahui kombinasi yang paling baik antar MVA campuran dan
pupuk fosfat dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman koro pedang pada tanah ultisol.
BAHAN DAN METODE
PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah biji koro pedang yang
diperoleh dari Himpunan Petani, Peternak dan Pekebun Indonesia (HIPPPI) Jawa
Barat, Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) campuran (terdiri dari Glomus etunicatum, Glomus manihotis, Gigaspora sp., dan Acaulospora sp.) yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi
Hutan lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, tanah
ultisol yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Krumput
Banyumas, polibag ukuran 35x40 (volume 5 kg), pupuk urea, KCl, TSP, KOH 10 %,
tinta tulis warna biru, cuka, kantong
kertas, kertas tissue, air dan aquades. Alat yang digunakan adalah thermometer,
higrometer, soil tester, hot plate, penggaris, gunting, alat
tulis, sprayer, timbangan analitik, cawan petri, mikroskop, jarum ose, pipet,
gelas ukur, beaker glass, obyek gelas
dan tabung reaksi.
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama berupa dosis
MVA campuran terdiri dari 0; 12,5; 15; 17 g/tanaman. Faktor kedua berupa dosis
pupuk fosfat terdiri dari 0; 0,2; 0,3; 0,4 g/tanaman. Setiap kombinasi
perlakuan diulang tiga kali. Parameter utama yang diamati berupa tinggi
tanaman, diameter batang, berat kering tanaman bagian atas, derajat infeksi dan
kandungan P jaringan tanaman, sedangkan parameter pendukungnya adalah suhu tanah,
pH tanah, dan kelembaban lingkungan.
Tanah ultisol yang diperoleh dari PT Perkebunan
Nusantara IX (Persero) Kebun Krumput Banyumas dianalisis di Laboratorium Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian Unsoed untuk mengetahui kandungan N tersedia, kandungan P2O5 tersedia,
pH H2O dan Al-dd. Tanah diambil sedalam lapisan tanah (20 cm) secara
acak kemudian dikeringanginkan. Dilanjutkan dengan pengayakan menggunakan alat
pengayak berdiameter 2 mm untuk memperoleh keseragaman tanah. Tanah tersebut
disterilisasi pada suhu 100°C selama 6 jam kemudian dimasukkan ke dalam polibag
dengan volume 5 kg. Biji koro pedang ditanam langsung pada polibag yang sudah
disiapkan sebanyak 2 biji per lubang bersamaan dengan inokulum MVA sesuai
perlakuan dengan cara menempatkan inokulum 3 cm di bawah biji koro pedang,
kemudian biji di tutup dengan tanah ± 2 cm. Pupuk fosfat (TSP), KCl dan urea
diberikan bersamaan dengan penanaman biji. Setelah memiliki 4 daun dipilih satu
tanaman yang paling baik pertumbuhannya dengan cara memotong satu tanaman yang
pertumbuhannya kurang baik. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara tanaman
koro pedang disiram pada pagi hari pada stadium kecambah menggunakan sprayer,
selanjutnya 1-2 kali seminggu bila tanahnya kering. Pengamatan yang dilakukan
meliputi tinggi tanaman, diameter batang, berat kering tanaman bagian atas,
derajat infeksi MVA, kandungan P jaringan tanaman, suhu, kelembaban serta pH
tanah.
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis
dengan uji F pada tingkat kesalahan 5 % dan 1 %, pada perlakuan dengan hasil
uji F yang menunjukkan pengaruh nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan tingkat kesalahan 5 % dan 1% (Steel dan
Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Tinggi
Tanaman, Diameter Batang dan Berat Kering
Tanaman Bagian Atas
Hasil Analisis Ragam
pengaruh inokulasi MVA campuran dan pupuk fosfat menunjukkan bahwa interaksi
antara MVA campuran dan pupuk fosfat
tidak memberikan pengaruh yang nyata, demikian pula dengan dosis MVA
campuran dan dosis pupuk fosfat secara mandiri juga tidak berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman, diameter batang dan berat keing tanaman bagian atas.
Interaksi antara MVA
campuran dan pupuk fosfat tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang dan berat kering
tanaman bagian atas diduga yang pertama karena derajat
infeksi MVA pada perakaran tanaman koro pedang pada penelitian ini rendah yaitu
berkisar antara 0-73%, sehingga pengaruhnya belum begitu nyata dalam
meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang dan berat kering tanaman bagian
atas. Derajat infeksi yang tinggi pada perakaran tanaman akan meningkatkan
penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama unsur P, dimana unsur P penting
bagi pertumbuhan tanaman (Gunawan, 1993). Hasil penelitian Susilowati (2000)
menyebutkan bahwa inokulasi MVA campuran berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman kacang tanah di tanah masam dengan rata-rata derajat infeksi
0-98%. Hasil penelitian Amiroh (2006) menunjukkan bahwa inokulasi MVA campuran
dan pupuk fosfat berpengaruh meningkatkan tinggi tanaman, diameter tanaman dan
berat kering tanaman jagung yang ditanam di tanah masam dengan rata-rata
derajat infeksi sebesar 15-96,7%.
Kedua diduga karena interval dosis MVA campuran dan interval dosis pupuk
fosfat masih terlalu kecil sehingga hasilnya belum menunjukkan adanya interaksi
antara MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan tanaman koro pedang
di tanah ultisol.
Menurut
Winarso (2005) dalam Pane (2010), fosfor
(P) di dalam tanaman mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu dalam proses
fotosintesis, respirasi, transfer dan penyimpanan energi dan memindahkan energi
seperti ATP dan ADP, pembelahan dan pembesaran sel. Hardjowigeno (1987)
menambahkan bahwa unsur P sangat diperlukan untuk proses pembentukan akar pada
tanaman yang masih muda, juga berperan dalam membentuk nukleoprotein (sebagai
penyusun RNA dan DNA) yang dapat menstimulir pertumbuhan akar serabut.
Seperti diketahui bahwa
fosfor sangat diperlukan dalam pembelahan dan pembesaran sel. Dengan demikian
pembelahan dan pembesaran sel mempunyai kaitan yang erat dengan tinggi tanaman
serta diameter batang. Tinggi tanaman dan diameter tanaman akan semakin besar
apabila fosfat yang dibutuhkan oleh tanaman tercukupi. Fosfor
juga berpengaruh dalam memperluas permukaan daun sehingga tanaman dapat
menyerap cahaya lebih tinggi (Haryantini dan Santoso, 2001). Perkembangan
daun yang lebih baik pada tanaman
mengakibatkan tanaman mampu melakukan fotosintesis lebih optimal, karena
permukaan daun yang menerima radiasi matahari sebagai energi utama dalam proses
fotosintesis lebih luas. Daun yang lebih luas mempunyai kandungan klorofil per
satuan luas daun total lebih banyak dibandingkan daun yang lebih sempit
(kecil), sehingga proses fotosintesis lebih baik (Salisbury dan Ross, 1995).
Dengan demikian fotosintat yang tertimbun sebagai bobot kering tanaman juga lebih besar. Dengan
meningkatnya laju fotosintesis maka pertumbuhan tanaman akan lebih baik.
Tampubolon (2001) menambahkan bahwa fosfor merupakan unsur yang paling penting
dari unsur hara lainnya dan kekurangan P dapat menurunkan produksi bahan
kering.
2. Derajat
Infeksi
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa MVA campuran
mampu menginfeksi perakaran tanaman koro pedang kecuali pada kontrol dengan
derajat infeksi berkisar antara 46,33%-73%. Derajat infeksi tertinggi pada
perlakuan M2P3 dengan rata-rata 73%, sedangkan terendah
pada perlakuan M1P3
dengan rata-rata 46,33%. Hal
ini membuktikan bahwa tanaman koro pedang mampu berasosiasi dengan cendawan
pembentuk MVA. Fakuara (1988) menyatakan bahwa cendawan pembentuk MVA merupakan
jenis cendawan yang paling luas penyebarannya dan tidak mempunyai inang
spesifik.
Keberhasilan
infeksi MVA koro pedang didukung pula oleh kandungan hara tanah dan kondisi
lingkungan yang sesuai bagi perkembangan cendawan pembentuk MVA. Berdasarkan
hasil analisis diketahui bahwa tanah yang digunakan dalam penelitian ini
mempunyai kandungan P tersedia 0,039 ppm, N tersedia 0,007%, pH 5,75 serta
Al-dd 0,912 me%. Menurut Hardjowigeno (1987), kadar fosfor kurang dari 10 ppm
tergolong rendah. Kandungan unsur hara tanah yang rendah menyebabkan tanaman
koro pedang mudah terinfeksi oleh cendawan pembentuk MVA.
Hasil
pengamatan terhadap kondisi lingkungan (suhu, kelembaban dan pH) selama penelitian
menunjukkan bahwa suhu ruang berkisar antara 25,12-30,270C,
suhu tanah 24,87-27,930C, kelembaban ruangan 56,57-73,08%,
kelembaban tanah 55,13% serta pH 6,57. Kondisi lingkungan tersebut sesuai untuk
perkembangan cendawan pembentuk MVA. Menurut Suhardi (1987), suhu optimal untuk
perkembangan MVA adalah 18-270C. Pertumbuhan akan terhenti pada suhu
di atas 350C atau di bawah 50C. MVA dapat tumbuh baik
pada tanah yang lembab, sedangkan pada tanah yang kering miselium akan mati.
Gunawan (1993) menyatakan bahwa mikoriza bersifat asidofilik sehingga akan
tumbuh baik pada medium yang mempunyai pH rendah atau asam, pH optimum untuk
pertumbuhan MVA adalah 3-7.
Hasil Analisis Ragam pengaruh inokulasi MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap
derajat infeksi menunjukkan bahwa interaksi antara MVA campuran dan pupuk
fosfat tidak memberikan pengaruh yang
nyata, demikian pula dengan dosis MVA campuran secara mandiri juga tidak
berpengaruh nyata terhadap derajat infeksi, sedangkan dosis pupuk fosfat secara
mandiri berpengaruh sangat nyata terhadap derajat infeksi. Selanjutnya untuk mengetahui
perbedaan pengaruh dosis pupuk fosfat terhadap derajat infeksi maka dilakukan
uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Tabel 3.1. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh pemberian pupuk
fosfat terhadap derajat infeksi tanaman koro pedang yang ditanam di tanah
ultisol (umur 60 hari)
Perlakuan
|
Rata-rata derajat infeksi (%)
|
P0
|
4,050c
|
P1
|
48,938b
|
P2
|
58,121a
|
P3
|
52,720ab
|
Keterangan : angka-angka yang diikuti
huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT
5%
Berdasarkan
hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Tabel 3.1.) dapat diketahui bahwa semua
perlakuan yang dicobakan berbeda nyata dengan kontrol (P0). Perlakuan P2 (pupuk
fosfat 0,3 g/tanaman) menghasilkan derajat infeksi tertinggi dengan rata-rata
58,121% berbeda nyata dengan perlakuan P1 (pupuk fosfat 0,2 g/tanaman)
tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan P3 (pupuk fosfat 0,4 g/tanaman). Perlakuan P1
tidak berbeda nyata dengan P3. Dengan demikian perlakuan P2 (pupuk
fosfat 0,3 g/tanaman) merupakan dosis yang paling efektif dalam menginfeksi
tanaman koro pedang yang ditanam di tanah ultisol. Pemberian dosis pupuk fosfat
tertentu dapat meningkatkan derajat infeksi sampai titik optimal, akan tetapi
pemberian pupuk fosfat dengan dosis yang semakin tinggi atau rendah derajat
infeksinya semakin menurun. Hal ini terlihat pada Tabel 3.1. yaitu P0
(4,050%), P1 (48,938%), P2
(58,121%) dan P3 (52,720%). Harley dan Smith (1983)
menyatakan bahwa kemampuan cendawan MVA yang menginfeksi perakaran akan menurun
dengan makin banyaknya penambahan pupuk yang mengandung P ke dalam tanah.
Menurut Domerques
dan Krupa (1978) dalam Susilowati
(2000), proses infeksi cendawan MVA pada akar tanaman di mulai dari adanya
kontak antara hifa cendawan yang berasal dari sporokarp, zygospora atau
komponen lainnya yang terdapat di sekitar perakaran inang. Penetrasi cendawan
dimulai dengan pembentukan apresorium untuk melekatkan diri pada inang,
selanjutnya hifa cendawan akan menembus sel-sel korteks akar melalui sel
epidermis atau rambut akar. Setelah mencapai bagian tengah korteks cendawan
tumbuh secara interseluler, intraseluler atau keduanya. Hifa interseluler yang
telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel
dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks tampak seperti pohon yang
kecil bercabang-cabang dinamakan arbuskular yaitu struktur yang terlibat dalam
transfer hara dua arah antara simbion cendawan dengan tanaman inang (Walker dan
Sauders 1986 dalam Susilowati 2000).
Selain arbuskular akan terbentuk vesikula yaitu struktur bulat atau bulat
memanjang dibentuk dari hifa yang membengkak yang berfungsi sebagai organ
penyimpan makanan.
Tiga fase
perkembangan MVA pada beberapa tanaman pangan yang tumbuh di plot dan dalam
lingkungan yang dikontrol. Fase pertama, 20-25 hari menunjukkan pertumbuhan
akar semai yang cepat pada saat ini terjadi perkecambahan spora, pertumbuhan
germacub dan penembusan endogen ke inang. Fase kedua, 30-35 hari selama ini ada
perkembangan MVA yang cocok dengan pertumbuhan pucuk yang sangat banyak dan
perkembangan miselium endogene menuju infeksi ganda. Fase ketiga, ketika
perbandingan akar mikoriza dan non mikoriza tetap sampai mendekati inang dan
terus sampai menuju produksi (Fakuara, 1988).
3. Kandungan
P Total Jaringan Tanaman
Hasil Analisis Ragam pengaruh inokulasi MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap
kandungan P total jaringan menunjukkan bahwa interaksi antara MVA campuran dan pupuk
fosfat tidak memberikan pengaruh yang
nyata, tetapi dosis MVA campuran dan dosis pupuk fosfat masing-masing secara
mandiri berpengaruh sangat nyata. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan
pengaruh dosis MVA campuran dan dosis pupuk fosfat terhadap kandungan P total
jaringan maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Tabel 3.2. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh pemberian MVA
campuran terhadap kandungan P total jaringan koro pedang yang ditanam di tanah
ultisol (umur 60 hari)
Perlakuan
|
Rata-rata kandungan P total jaringan (%)
|
M0
|
4,195c
|
M1
|
4,445b
|
M2
|
4.675a
|
M3
|
4,628ab
|
Keterangan
: angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT 5%
Hasil uji BNT
pengaruh MVA campuran terhadap kandungan total jaringan (Tabel 3.2.)
menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (M0).
Dapat diketahui bahwa perlakuan M2 (MVA 15 g/tanaman) menghasilkan
rata-rata kandungan P total jaringan paling tinggi yaitu 4,675% berbeda nyata
dengan perlakuan M1 (MVA 12,5 g/tanaman), tetapi berbeda tidak nyata
dengan M3 (MVA 15 g/tanaman). Perlakuan M0 (tanpa MVA
campuran) menghasilkan kandungan P total jaringan terendah yaitu 4,195%. Dengan
demikian M2 (MVA 15 g/tanaman) merupakan perlakuan yang efektif
dalam meningkatkan penyerapan kandungan P dalam jaringan tanaman koro pedang
yang ditanam di tanah ultisol. Hal ini dapat diketahui karena derajat infeksi tertinggi
terdapat pada perlakuan M2P3 yaitu sebesar 73%. Semakin
tinggi derajat infeksi maka penyerapan unsur hara terutama P oleh hifa
eksternal akan meningkat yang berarti bahwa kandungan P jaringan juga meningkat.
Zulaikha dan Gunawan (2006) menyatakan bahwa
inokulasi mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman, karena
mikoriza dengan hifa eksternal selain dapat memperluas jangkauan rambut akar
yang berarti memperluas daerah penyerapan, juga dapat menembus daerah penipisan
nutrient (zone of nutrient depletion) yang terdapat di sekitar perakaran
dan menyerap unsur hara dari daerah tersebut. Manske (1998) dalam Sastrahidayat et al. (1999) menyatakan bahwa mikoriza
juga menghasilkan enzim fosfatase yang mampu mengkatalis hidrolisis komplek
fosfat tidak larut yang terdapat di dalam tanah menjadi bentuk fosfat larut
yang tersedia bagi tanaman. Selanjutnya fosfat larut ini dengan cepat akan
diserap langsung oleh hifa eksternal mikoriza dan kemudian ditransfer ke tanaman
inang. Dengan demikian tanaman yang diinokulasi mikoriza mempunyai kemampuan
untuk menyerap fosfat yang terikat dalam tanah dan fosfat dari pupuk.
Tabel 3.3. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh pemberian pupuk
fosfat terhadap kandungan P total jaringan tanaman koro pedang yang ditanam di tanah ultisol (umur
60 hari)
Perlakuan
|
Rata-rata kandungan P total jaringan (%)
|
P0
|
3,958c
|
P1
|
4,388b
|
P2
|
4,774a
|
P3
|
4,823a
|
Keterangan
: angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT 5%
Hasil uji BNT pengaruh pupuk fosfat terhadap kandungan P total
jaringan (Tabel 3.3.) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata dengan
kontrol (P0). Perlakuan P3 (pupuk fosfat 0,4 g/tanaman)
menghasilkan rata-rata kandungan P total jaringan tertinggi yaitu 4,823%
berbeda nyata dengan perlakuan P1 (pupuk fosfat 0,2 g/tanaman)
tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (pupuk fosfat 0,3
g/tanaman). Perlakuan P2 tidak
berbeda nyata dengan P3 diduga karena P2 (pupuk
fosfat 0,3 g/tanaman) sudah sesuai dengan kebutuhan tanaman koro pedang.
Tanaman koro pedang membutuhkan dosis pupuk TSP 100 kg/ha (Anonim, 2010).
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan P2
(pupuk fosfat 0,3 g/tanaman) merupakan dosis yang efektif dalam
meningkatkan kandungan P dalam jaringan tanaman koro pedang yang ditanam di
tanah ultisol. Menurut Prasetya dan Suriadikarta
(2006), ultisol pada umumnya memberikan
respon yang baik terhadap pemupukan fosfat. Pemberian P dapat meningkatkan P
tersedia dalam tanah karena jumlah P yang ditambahkan akan mencapai konsentrasi
P tertentu dalam larutan kesetimbangan. Serapan P akan meningkat secara linear
dengan meningkatnya P tersedia dalam tanah (Tampubolon dkk., 2001).
Menurut
Gardner et al., (1991) bahwa fosfor
diserap terutama dalam bentuk ion bervalensi tunggal H2PO4-
dan kurang dalam bentuk ion bervalensi dua HPO42-. Pemupukan P meningkatkan hasil panen
dan pengambilan P, tetapi juga sangat meningkatkan panjang akar, kehalusan akar
dan kerapatannya. Peningkatan pengambilan P disebabkan karena adanya
konsentrasi P yang lebih tinggi dalam medium atau peningkatan panjang akar atau
keduanya. Akar secara aktif menyerap P dari larutan tanah dan menyimpannya
dalam tubuh tanaman.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil dan pembahasan,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Interaksi
antara MVA campuran dan pupuk fosfat tidak mampu meningkatkan tinggi tanaman,
diameter batang dan berat kering tanaman bagian atas. Dosis pupuk fosfat secara
mandiri meningkatkan derajat infeksi dan
kandungan P total jaringan, demikian pula dosis MVA campuran secara
mandiri meningkatkan kandungan P total jaringan.
2. Pupuk fosfat 0,3 g/tanaman
merupakan dosis yang paling efektif dalam meningkatkan derajat infeksi, MVA 15 g/tanaman dan pupuk fosfat 0,3 g/tanaman
merupakan dosis yang efektif dalam meningkatkan kandungan P total jaringan.
DAFTAR
REFERENSI
Amiroh,
Y. 2006. Pengaruh Inokulasi Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) campuran dan
Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Masam. Skripsi (tidak dipublikasikan).
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Anonim. 2009. Koro Pedang Pengganti Kedelai. URL: http//matanews.com/2009/07/26/koro-pedang-pengganti-kedelai/.
20 Februari 2010.
Anonim. 2010. Kelayakan
dan Teknologi Budidaya Koro Pedang (Canavalia sp.). URL: http//www.google.com. 20 Februari 2010.
Cruz, De La R. E.
1981. Mycorrhizal Indisposible Allies Forest Regeneration in South East Asia.
Biotrop, Bogor.
Fakuara,
M. Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU IPB, Bogor.
Gardner,
F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991.
Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press, Jakarta.
Gunawan,
A. W. 1993. Mikoriza Arbuskula. PAU Ilmu Hayat IPB, Bogor.
Hardjowigeno. 1987. Ilmu Tanah.
Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarata.
Harley, J. L. and S. E. Smith.
1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, London.
Haryantini, B. A dan M. Santoso. 2001. Pertumbuhan dan
Hasil Cabai Merah (Capsicum annum) pada
Andisol yang Diberi Mikoriza, Pupuk Fosfor dan Zat Pengatur Tumbuh. Biosain. 3 (2).
Nurhaidah,
I. 2005. Respon Tanaman Kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus (L.) DC) Terhadap Mikoriza Vesikula Arbuskula Glomus glomerulatum dengan Dosis dan
Teknik Inokulasi yang Berbeda Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Pane, B.
L. 2010. Kajian Hara Fosfat pada
Kedalaman Tanah yang Berbeda Akibat Pemupukan p pada Tegakan Eucalyptus Klon di
Tanah Andisol. Skripsi. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Prasetya, B. H dan D.A. Suriadikarta. 2006.
Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk
Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian. 25 (2): 39-47.
Salisbury,
F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Penerbit ITB, Bandung.
Sastrahidayat,
I. R., K. Wahidah dan Syehfani. 1999. Pengaruh Mikoriza Vesikula Arbuskula
terhadap Peningkatan Enzim Fosfatase, Beberapa Asam Organik dan Pertumbuhan
Kapas (Gossypium hirsutum L.) pada vertisol dan alfisol. Agrivita. 21 (1): 10-19
Soepardi,
G. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB,
Bogor.
Steel,
R. G. D dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip
dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Subiksa,
I. G. M. 2002. Pemanfaatan Mikroba untuk Penanggulangan Lahan Kritis. URL: http//www.google.com. 20 Februari
2010.
Suhardi.
1987. Pemanfaatan Mikoriza Bagi Perkembangan Pertanian dan Kehutanan di
Indonesia. Makalah Seminar Bioteknologi Indonesia. PAU UGM, Yogyakarta.
Susilowati.
2000. Pengaruh Inokulasi Mikoriza Vesikular Arbuskular Campuran Terhadap
Tanaman Kacang Tanah (Arachis hipogaea
L.) pada Tanah masam. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Tampubolon,
G., Ermadani dan Itang A. M. 2001. Kapasitas Jerapan Fosfat Ultisol dan Respon
Tanaman Kedelai Terhadap Konsentrasi Kesetimbangan P dalam Larutan Tanah. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 2
(3): 89-93.
Zulaikha, S. dan Gunawan. 2006. Serapan Fosfat dan Respon Fisiologis Tanaman
Cabai Merah Cultivar Hot Beauty Terhadap Mikoriza dan Pupuk Fosfat PadaTanah
Ultisol. Bioscientiae. 3 (2): 83-92.
No comments:
Post a Comment