Monday 9 September 2013

Mikoriza Vesikula Arbuskula



PENGARUH INOKULASI MIKORIZA VESIKULA ARBUSKULA (MVA) CAMPURAN DAN PUPUK FOSFAT TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis (L.) DC.) DI TANAH ULTISOL
Titik Tri Wahyuni, Purnomowati, dan Aris Mumpuni
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman
titik_wahyuni88@yahoo.com

 

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan tanaman koro pedang di tanah ultisol serta mengetahui kombinasi yang paling baik antar MVA campuran dan pupuk fosfat dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman koro pedang di tanah ultisol. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama berupa dosis MVA campuran terdiri dari 0; 12,5; 15; 17 g/tanaman. Faktor kedua berupa dosis pupuk fosfat terdiri dari 0; 0,2; 0,3; 0,4 g/tanaman. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Parameter utama yang diamati berupa tinggi tanaman, diameter batang, berat kering tanaman bagian atas, derajat infeksi dan kandungan P jaringan tanaman, sedangkan parameter pendukungnya adalah suhu tanah, pH tanah, dan kelembaban lingkungan. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan uji F pada tingkat kesalahan 5 % dan 1 %, pada perlakuan dengan hasil uji F yang menunjukkan pengaruh nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan tingkat kesalahan 5 % dan 1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat tidak mampu meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang dan berat kering tanaman bagian atas. Pupuk fosfat 0,3 g/tanaman merupakan dosis yang paling efektif dalam meningkatkan derajat infeksi,  MVA 15 g/tanaman dan pupuk fosfat 0,3 g/tanaman merupakan dosis yang efektif dalam meningkatkan kandungan P total jaringan.

Kata kunci : koro pedang, tanah ultisol, Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) dan pupuk fosfat.  

PENDAHULUAN
Koro pedang (Canavalia ensiformis (L.) DC.) merupakan tanaman kacang-kacangan yang secara turun temurun telah dibudidayakan di Indonesia dan dinilai mampu menggantikan kedelai yang saat ini sebagian besar masih diimpor.  Koro pedang dapat diolah menjadi tahu, tempe, maupun pakan ternak serta makanan ringan yang proses pengolahannya selama ini sangat bergantung pada kedelai. Selain itu, ekstrak biji koro pedang juga dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan mencegah penyakit kanker. Namun produksi koro pedang di Indonesia masih rendah sehingga tidak dapat memenuhi permintaan pasar (Anonim, 2009).
Usaha untuk meningkatkan produksi koro pedang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi merupakan usaha meningkatkan hasil dengan cara memperbaiki teknik budidaya pada lahan tetap antara lain melalui penggunaan varietas unggul, pestisida dan pemberian pupuk buatan, sedangkan ekstensifikasi merupakan usaha peningkatan hasil melalui perluasan lahan pertanian. Ekstensifikasi di Indonesia ditujukan pada lahan yang bermasalah seperti tanah ultisol yang mempunyai kandungan unsur hara rendah.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan tanah ultisol adalah rendahnya pH tanah atau kemasaman tanah yang tinggi dapat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur P bagi tanaman. Menurut Soepardi (1986) pada tanah masam, sebagian besar fosfat tidak tersedia bagi tanaman karena fosfat terikat oleh Al (alumunium) dan Fe (besi) menjadi alumunium fosfat atau besi fosfat. Untuk mengatasi kekurangan unsur P pada tanah ultisol dapat dilakukan dengan pemupukan fosfat sebagai sumber unsur hara P. Pemupukan P diberikan untuk meningkatkan suplai unsur P dan diharapkan dengan suplai unsur P yang cukup akan meningkatkan penyerapan unsur P oleh tanaman. Gardner et al., (1991) menyatakan bahwa peningkatan ketersediaan P akan merangsang pembentukan sistem perakaran tanaman yang lebih baik, sehingga penyerapan unsur hara dan air yang dibutuhkan tanaman dapat berjalan lancar.
Alternatif lain untuk mengatasi kekurangan unsur P pada tanah ultisol dapat dilakukan dengan aplikasi bioteknologi yaitu dengan pemanfaatan Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA). Cendawan pembentuk MVA merupakan  mikroorganisme yang banyak digunakan untuk meningkatkan produktivitas lahan tanpa mengganggu kelestarian lahan tersebut. Pemanfaatan cendawan pembentuk MVA pada tanah ultisol dapat meningkatkan P tersedia tanah karena hifa mikoriza mengeluarkan enzim phospatase yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman (Subiksa, 2002).
Mikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara cendawan tanah dengan akar tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini bersifat mutualisme karena cendawan pembentuk mikoriza mendapat tempat hidup dan sumber karbon dari hasil fotosintesis tanaman inang sebanyak 4-14 %, sedangkan tanaman inang mendapatkan keuntungan antara lain dalam penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman (Lukiwati, 1996 dalam Nurhaidah, 2005).
Cendawan pembentuk MVA banyak berasosiasi pada famili Gramineae dan Leguminoseae. Tetapi tanaman Leguminoseae lebih responsif terhadap cendawan pembentuk MVA dibandingkan Gramineae karena tanaman Leguminoseae mempunyai sedikit bulu-bulu akar sehingga dalam perkembangannya membutuhkan infeksi cendawan pembentuk MVA untuk membantu dalam penyerapan phosphor tanah yang sukar tersedia (Lukiwati, 1996 dalam Nurhaidah, 2005). Koro pedang merupakan anggota Leguminoseae yang juga mampu berasosiasi secara baik dengan cendawan pembentuk MVA.
Tanaman yang berasosiasi dengan cendawan MVA mampu tumbuh di tanah masam karena secara efektif MVA dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro (Cruz, 1981). Mikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia bagi tanaman terutama unsur fosfor (P). Hal tersebut karena tanaman yang bermikoriza membentuk sistem penyerapan yang lebih luas berupa hifa eksternal sehingga mampu menyerap P secara langsung dari sumber P terlarut. Harley dan Smith (1983) menyatakan bahwa kemampuan cendawan MVA yang menginfeksi perakaran akan menurun dengan makin banyaknya penambahan pupuk yang mengandung P ke dalam tanah. Manfaat cendawan ini akan secara nyata terlihat jika kondisi tanahnya miskin unsur hara, sedangkan pada kondisi tanah yang subur peranan cendawan MVA ini tidak tampak begitu jelas. Hal ini karena tanah yang subur menyebabkan tanaman mudah mendapatkan keperluannya untuk asimilasi, sehingga tidak memerlukan cendawan MVA lagi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan tanaman koro pedang pada tanah ultisol serta mengetahui kombinasi yang paling baik antar MVA campuran dan pupuk fosfat dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman koro pedang  pada tanah ultisol.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan adalah biji koro pedang yang diperoleh dari Himpunan Petani, Peternak dan Pekebun Indonesia (HIPPPI) Jawa Barat, Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) campuran (terdiri dari Glomus etunicatum, Glomus manihotis, Gigaspora sp., dan Acaulospora sp.) yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hutan lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, tanah ultisol yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Krumput Banyumas, polibag ukuran 35x40 (volume 5 kg), pupuk urea, KCl, TSP, KOH 10 %, tinta tulis warna biru, cuka,  kantong kertas, kertas tissue, air dan aquades. Alat yang digunakan adalah thermometer, higrometer, soil tester, hot plate, penggaris, gunting, alat tulis, sprayer, timbangan analitik, cawan petri, mikroskop, jarum ose, pipet, gelas ukur, beaker glass, obyek gelas dan tabung reaksi.
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor pertama berupa dosis MVA campuran terdiri dari 0; 12,5; 15; 17 g/tanaman. Faktor kedua berupa dosis pupuk fosfat terdiri dari 0; 0,2; 0,3; 0,4 g/tanaman. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Parameter utama yang diamati berupa tinggi tanaman, diameter batang, berat kering tanaman bagian atas, derajat infeksi dan kandungan P jaringan tanaman, sedangkan parameter pendukungnya adalah suhu tanah, pH tanah, dan kelembaban lingkungan.
Tanah ultisol yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) Kebun Krumput Banyumas dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unsoed untuk mengetahui kandungan N tersedia,  kandungan P2O5 tersedia, pH H2O dan Al-dd. Tanah diambil sedalam lapisan tanah (20 cm) secara acak kemudian dikeringanginkan. Dilanjutkan dengan pengayakan menggunakan alat pengayak berdiameter 2 mm untuk memperoleh keseragaman tanah. Tanah tersebut disterilisasi pada suhu 100°C selama 6 jam kemudian dimasukkan ke dalam polibag dengan volume 5 kg. Biji koro pedang ditanam langsung pada polibag yang sudah disiapkan sebanyak 2 biji per lubang bersamaan dengan inokulum MVA sesuai perlakuan dengan cara menempatkan inokulum 3 cm di bawah biji koro pedang, kemudian biji di tutup dengan tanah ± 2 cm. Pupuk fosfat (TSP), KCl dan urea diberikan bersamaan dengan penanaman biji. Setelah memiliki 4 daun dipilih satu tanaman yang paling baik pertumbuhannya dengan cara memotong satu tanaman yang pertumbuhannya kurang baik. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara tanaman koro pedang disiram pada pagi hari pada stadium kecambah menggunakan sprayer, selanjutnya 1-2 kali seminggu bila tanahnya kering. Pengamatan yang dilakukan meliputi tinggi tanaman, diameter batang, berat kering tanaman bagian atas, derajat infeksi MVA, kandungan P jaringan tanaman, suhu, kelembaban serta pH tanah.
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan uji F pada tingkat kesalahan 5 % dan 1 %, pada perlakuan dengan hasil uji F yang menunjukkan pengaruh nyata atau sangat nyata maka dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan tingkat kesalahan 5 % dan 1% (Steel dan Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Tinggi Tanaman, Diameter Batang  dan Berat Kering Tanaman Bagian Atas
Hasil Analisis Ragam pengaruh inokulasi MVA campuran dan pupuk fosfat menunjukkan bahwa interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat  tidak memberikan pengaruh yang nyata, demikian pula dengan dosis MVA campuran dan dosis pupuk fosfat secara mandiri juga tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang dan berat keing tanaman bagian atas.
Interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat  tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang dan berat kering tanaman bagian atas diduga yang pertama karena derajat infeksi MVA pada perakaran tanaman koro pedang pada penelitian ini rendah yaitu berkisar antara 0-73%, sehingga pengaruhnya belum begitu nyata dalam meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang dan berat kering tanaman bagian atas. Derajat infeksi yang tinggi pada perakaran tanaman akan meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama unsur P, dimana unsur P penting bagi pertumbuhan tanaman (Gunawan, 1993). Hasil penelitian Susilowati (2000) menyebutkan bahwa inokulasi MVA campuran berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kacang tanah di tanah masam dengan rata-rata derajat infeksi 0-98%. Hasil penelitian Amiroh (2006) menunjukkan bahwa inokulasi MVA campuran dan pupuk fosfat berpengaruh meningkatkan tinggi tanaman, diameter tanaman dan berat kering tanaman jagung yang ditanam di tanah masam dengan rata-rata derajat infeksi sebesar 15-96,7%.
Kedua diduga karena interval dosis MVA campuran dan interval dosis pupuk fosfat masih terlalu kecil sehingga hasilnya belum menunjukkan adanya interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan tanaman koro pedang di tanah ultisol.
Menurut Winarso (2005) dalam Pane (2010), fosfor (P) di dalam tanaman mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu dalam proses fotosintesis, respirasi, transfer dan penyimpanan energi dan memindahkan energi seperti ATP dan ADP, pembelahan dan pembesaran sel. Hardjowigeno (1987) menambahkan bahwa unsur P sangat diperlukan untuk proses pembentukan akar pada tanaman yang masih muda, juga berperan dalam membentuk nukleoprotein (sebagai penyusun RNA dan DNA) yang dapat menstimulir pertumbuhan akar serabut.
Seperti diketahui bahwa fosfor sangat diperlukan dalam pembelahan dan pembesaran sel. Dengan demikian pembelahan dan pembesaran sel mempunyai kaitan yang erat dengan tinggi tanaman serta diameter batang. Tinggi tanaman dan diameter tanaman akan semakin besar apabila fosfat yang dibutuhkan oleh tanaman tercukupi. Fosfor juga berpengaruh dalam memperluas permukaan daun sehingga tanaman dapat menyerap cahaya lebih tinggi (Haryantini dan Santoso, 2001). Perkembangan daun yang lebih baik pada tanaman  mengakibatkan tanaman mampu melakukan fotosintesis lebih optimal, karena permukaan daun yang menerima radiasi matahari sebagai energi utama dalam proses fotosintesis lebih luas. Daun yang lebih luas mempunyai kandungan klorofil per satuan luas daun total lebih banyak dibandingkan daun yang lebih sempit (kecil), sehingga proses fotosintesis lebih baik (Salisbury dan Ross, 1995). Dengan demikian fotosintat yang tertimbun sebagai bobot kering tanaman  juga lebih besar. Dengan meningkatnya laju fotosintesis maka pertumbuhan tanaman akan lebih baik. Tampubolon (2001) menambahkan bahwa fosfor merupakan unsur yang paling penting dari unsur hara lainnya dan kekurangan P dapat menurunkan produksi bahan kering.
2.      Derajat Infeksi
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa MVA campuran mampu menginfeksi perakaran tanaman koro pedang kecuali pada kontrol dengan derajat infeksi berkisar antara 46,33%-73%. Derajat infeksi tertinggi pada perlakuan M2P3 dengan rata-rata 73%, sedangkan terendah pada perlakuan M1P3  dengan rata-rata 46,33%. Hal ini membuktikan bahwa tanaman koro pedang mampu berasosiasi dengan cendawan pembentuk MVA. Fakuara (1988) menyatakan bahwa cendawan pembentuk MVA merupakan jenis cendawan yang paling luas penyebarannya dan tidak mempunyai inang spesifik.
Keberhasilan infeksi MVA koro pedang didukung pula oleh kandungan hara tanah dan kondisi lingkungan yang sesuai bagi perkembangan cendawan pembentuk MVA. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tanah yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai kandungan P tersedia 0,039 ppm, N tersedia 0,007%, pH 5,75 serta Al-dd 0,912 me%. Menurut Hardjowigeno (1987), kadar fosfor kurang dari 10 ppm tergolong rendah. Kandungan unsur hara tanah yang rendah menyebabkan tanaman koro pedang mudah terinfeksi oleh cendawan pembentuk MVA.
Hasil pengamatan terhadap kondisi lingkungan (suhu, kelembaban dan pH) selama penelitian menunjukkan bahwa suhu ruang berkisar antara 25,12-30,270C, suhu tanah 24,87-27,930C, kelembaban ruangan 56,57-73,08%, kelembaban tanah 55,13% serta pH 6,57. Kondisi lingkungan tersebut sesuai untuk perkembangan cendawan pembentuk MVA. Menurut Suhardi (1987), suhu optimal untuk perkembangan MVA adalah 18-270C. Pertumbuhan akan terhenti pada suhu di atas 350C atau di bawah 50C. MVA dapat tumbuh baik pada tanah yang lembab, sedangkan pada tanah yang kering miselium akan mati. Gunawan (1993) menyatakan bahwa mikoriza bersifat asidofilik sehingga akan tumbuh baik pada medium yang mempunyai pH rendah atau asam, pH optimum untuk pertumbuhan MVA adalah 3-7.
Hasil Analisis Ragam pengaruh inokulasi MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap derajat infeksi menunjukkan bahwa interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat  tidak memberikan pengaruh yang nyata, demikian pula dengan dosis MVA campuran secara mandiri juga tidak berpengaruh nyata terhadap derajat infeksi, sedangkan dosis pupuk fosfat secara mandiri berpengaruh sangat nyata terhadap derajat infeksi. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan pengaruh dosis pupuk fosfat terhadap derajat infeksi maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Tabel 3.1. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh pemberian pupuk fosfat terhadap derajat infeksi tanaman koro pedang yang ditanam di tanah ultisol (umur 60 hari)
Perlakuan
Rata-rata derajat infeksi (%)
P0
4,050c
P1
48,938b
P2
58,121a
P3
52,720ab
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT  5%
Berdasarkan hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Tabel 3.1.) dapat diketahui bahwa semua perlakuan yang dicobakan berbeda nyata dengan kontrol  (P0). Perlakuan P2 (pupuk fosfat 0,3 g/tanaman) menghasilkan derajat infeksi tertinggi dengan rata-rata 58,121% berbeda nyata dengan perlakuan P1 (pupuk fosfat 0,2 g/tanaman) tetapi  tidak berbeda nyata dengan perlakuan P3 (pupuk fosfat 0,4 g/tanaman). Perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P3. Dengan demikian perlakuan P2 (pupuk fosfat 0,3 g/tanaman) merupakan dosis yang paling efektif dalam menginfeksi tanaman koro pedang yang ditanam di tanah ultisol. Pemberian dosis pupuk fosfat tertentu dapat meningkatkan derajat infeksi sampai titik optimal, akan tetapi pemberian pupuk fosfat dengan dosis yang semakin tinggi atau rendah derajat infeksinya semakin menurun. Hal ini terlihat pada Tabel 3.1. yaitu P0 (4,050%), P1 (48,938%),  P2 (58,121%) dan P3 (52,720%). Harley dan Smith (1983) menyatakan bahwa kemampuan cendawan MVA yang menginfeksi perakaran akan menurun dengan makin banyaknya penambahan pupuk yang mengandung P ke dalam tanah.
Menurut Domerques dan Krupa (1978) dalam Susilowati (2000), proses infeksi cendawan MVA pada akar tanaman di mulai dari adanya kontak antara hifa cendawan yang berasal dari sporokarp, zygospora atau komponen lainnya yang terdapat di sekitar perakaran inang. Penetrasi cendawan dimulai dengan pembentukan apresorium untuk melekatkan diri pada inang, selanjutnya hifa cendawan akan menembus sel-sel korteks akar melalui sel epidermis atau rambut akar. Setelah mencapai bagian tengah korteks cendawan tumbuh secara interseluler, intraseluler atau keduanya. Hifa interseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks tampak seperti pohon yang kecil bercabang-cabang dinamakan arbuskular yaitu struktur yang terlibat dalam transfer hara dua arah antara simbion cendawan dengan tanaman inang (Walker dan Sauders 1986 dalam Susilowati 2000). Selain arbuskular akan terbentuk vesikula yaitu struktur bulat atau bulat memanjang dibentuk dari hifa yang membengkak yang berfungsi sebagai organ penyimpan makanan.
Tiga fase perkembangan MVA pada beberapa tanaman pangan yang tumbuh di plot dan dalam lingkungan yang dikontrol. Fase pertama, 20-25 hari menunjukkan pertumbuhan akar semai yang cepat pada saat ini terjadi perkecambahan spora, pertumbuhan germacub dan penembusan endogen ke inang. Fase kedua, 30-35 hari selama ini ada perkembangan MVA yang cocok dengan pertumbuhan pucuk yang sangat banyak dan perkembangan miselium endogene menuju infeksi ganda. Fase ketiga, ketika perbandingan akar mikoriza dan non mikoriza tetap sampai mendekati inang dan terus sampai menuju produksi (Fakuara, 1988).
3.      Kandungan P Total Jaringan Tanaman
Hasil Analisis Ragam pengaruh inokulasi MVA campuran dan pupuk fosfat terhadap kandungan P total jaringan menunjukkan bahwa interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat  tidak memberikan pengaruh yang nyata, tetapi dosis MVA campuran dan dosis pupuk fosfat masing-masing secara mandiri berpengaruh sangat nyata.  Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan pengaruh dosis MVA campuran dan dosis pupuk fosfat terhadap kandungan P total jaringan maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).



Tabel 3.2. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh pemberian MVA campuran terhadap kandungan P total jaringan koro pedang yang ditanam di tanah ultisol (umur 60 hari)
Perlakuan
Rata-rata kandungan P total jaringan (%)
M0
4,195c
M1
4,445b
M2
4.675a
M3
4,628ab
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT  5%
Hasil uji BNT pengaruh MVA campuran terhadap kandungan total jaringan (Tabel 3.2.) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (M0). Dapat diketahui bahwa perlakuan M2 (MVA 15 g/tanaman) menghasilkan rata-rata kandungan P total jaringan paling tinggi yaitu 4,675% berbeda nyata dengan perlakuan M1 (MVA 12,5 g/tanaman), tetapi berbeda tidak nyata dengan M3 (MVA 15 g/tanaman). Perlakuan M0 (tanpa MVA campuran) menghasilkan kandungan P total jaringan terendah yaitu 4,195%. Dengan demikian M2 (MVA 15 g/tanaman) merupakan perlakuan yang efektif dalam meningkatkan penyerapan kandungan P dalam jaringan tanaman koro pedang yang ditanam di tanah ultisol. Hal ini dapat diketahui karena derajat infeksi tertinggi terdapat pada perlakuan M2P3 yaitu sebesar 73%. Semakin tinggi derajat infeksi maka penyerapan unsur hara terutama P oleh hifa eksternal akan meningkat yang berarti bahwa kandungan P jaringan juga meningkat. Zulaikha dan Gunawan (2006) menyatakan bahwa  inokulasi mikoriza dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman, karena mikoriza dengan hifa eksternal selain dapat memperluas jangkauan rambut akar yang berarti memperluas daerah penyerapan, juga dapat menembus daerah penipisan nutrient (zone of nutrient depletion) yang terdapat di sekitar perakaran dan menyerap unsur hara dari daerah tersebut. Manske (1998) dalam Sastrahidayat  et al. (1999) menyatakan bahwa mikoriza juga menghasilkan enzim fosfatase yang mampu mengkatalis hidrolisis komplek fosfat tidak larut yang terdapat di dalam tanah menjadi bentuk fosfat larut yang tersedia bagi tanaman. Selanjutnya fosfat larut ini dengan cepat akan diserap langsung oleh hifa eksternal mikoriza dan kemudian ditransfer ke tanaman inang. Dengan demikian tanaman yang diinokulasi mikoriza mempunyai kemampuan untuk menyerap fosfat yang terikat dalam tanah dan fosfat dari pupuk.
Tabel 3.3. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh pemberian pupuk fosfat terhadap kandungan P total jaringan tanaman  koro pedang yang ditanam di tanah ultisol (umur 60 hari)
Perlakuan
Rata-rata kandungan P total jaringan (%)
P0
3,958c
P1
4,388b
P2
4,774a
P3
4,823a
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT  5%
Hasil uji BNT pengaruh pupuk fosfat terhadap kandungan P total jaringan (Tabel 3.3.) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (P0). Perlakuan P3 (pupuk fosfat 0,4 g/tanaman) menghasilkan rata-rata kandungan P total jaringan tertinggi yaitu 4,823% berbeda nyata dengan perlakuan P1 (pupuk fosfat 0,2 g/tanaman) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (pupuk fosfat 0,3 g/tanaman). Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan P3 diduga karena P2 (pupuk fosfat 0,3 g/tanaman) sudah sesuai dengan kebutuhan tanaman koro pedang. Tanaman koro pedang membutuhkan dosis pupuk TSP 100 kg/ha (Anonim, 2010).
Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan P2 (pupuk fosfat 0,3 g/tanaman) merupakan dosis yang efektif dalam meningkatkan kandungan P dalam jaringan tanaman koro pedang yang ditanam di tanah ultisol. Menurut Prasetya dan Suriadikarta (2006), ultisol pada umumnya memberikan respon yang baik terhadap pemupukan fosfat. Pemberian P dapat meningkatkan P tersedia dalam tanah karena jumlah P yang ditambahkan akan mencapai konsentrasi P tertentu dalam larutan kesetimbangan. Serapan P akan meningkat secara linear dengan meningkatnya P tersedia dalam tanah (Tampubolon dkk., 2001).
Menurut Gardner et al., (1991) bahwa fosfor diserap terutama dalam bentuk ion bervalensi tunggal H2PO4- dan kurang dalam bentuk ion bervalensi dua HPO42-.  Pemupukan P meningkatkan hasil panen dan pengambilan P, tetapi juga sangat meningkatkan panjang akar, kehalusan akar dan kerapatannya. Peningkatan pengambilan P disebabkan karena adanya konsentrasi P yang lebih tinggi dalam medium atau peningkatan panjang akar atau keduanya. Akar secara aktif menyerap P dari larutan tanah dan menyimpannya dalam tubuh tanaman.

KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.      Interaksi antara MVA campuran dan pupuk fosfat tidak mampu meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang dan berat kering tanaman bagian atas. Dosis pupuk fosfat secara mandiri meningkatkan derajat infeksi dan  kandungan P total jaringan, demikian pula dosis MVA campuran secara mandiri meningkatkan kandungan P total jaringan.
2.      Pupuk fosfat 0,3 g/tanaman merupakan dosis yang paling efektif dalam meningkatkan derajat infeksi,  MVA 15 g/tanaman dan pupuk fosfat 0,3 g/tanaman merupakan dosis yang efektif dalam meningkatkan kandungan P total jaringan.

DAFTAR REFERENSI
Amiroh, Y. 2006. Pengaruh Inokulasi Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) campuran dan Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Masam. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Anonim. 2009. Koro Pedang Pengganti Kedelai. URL: http//matanews.com/2009/07/26/koro-pedang-pengganti-kedelai/. 20 Februari 2010.
Anonim. 2010. Kelayakan dan Teknologi Budidaya Koro Pedang (Canavalia sp.). URL: http//www.google.com. 20 Februari 2010.
Cruz, De La R. E. 1981. Mycorrhizal Indisposible Allies Forest Regeneration in South East Asia. Biotrop, Bogor.
Fakuara, M. Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU IPB, Bogor.
Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991.  Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press, Jakarta.
Gunawan, A. W. 1993. Mikoriza Arbuskula. PAU Ilmu Hayat IPB, Bogor.
Hardjowigeno. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarata.
Harley, J. L. and S. E. Smith. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, London.
Haryantini, B. A dan M. Santoso. 2001. Pertumbuhan dan Hasil Cabai Merah (Capsicum annum) pada Andisol yang Diberi Mikoriza, Pupuk Fosfor dan Zat Pengatur Tumbuh. Biosain. 3 (2).
Nurhaidah, I. 2005. Respon Tanaman Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Terhadap Mikoriza Vesikula Arbuskula Glomus glomerulatum dengan Dosis dan Teknik Inokulasi yang Berbeda Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Pane, B. L. 2010. Kajian Hara Fosfat pada Kedalaman Tanah yang Berbeda Akibat Pemupukan p pada Tegakan Eucalyptus Klon di Tanah Andisol. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Prasetya, B. H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25 (2): 39-47.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Penerbit ITB, Bandung.
Sastrahidayat, I. R., K. Wahidah dan Syehfani. 1999. Pengaruh Mikoriza Vesikula Arbuskula terhadap Peningkatan Enzim Fosfatase, Beberapa Asam Organik dan Pertumbuhan Kapas (Gossypium hirsutum L.) pada vertisol dan alfisol. Agrivita. 21 (1): 10-19
Soepardi, G. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Steel, R. G. D dan  J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Subiksa, I. G. M. 2002. Pemanfaatan Mikroba untuk Penanggulangan Lahan Kritis. URL: http//www.google.com. 20 Februari 2010.
Suhardi. 1987. Pemanfaatan Mikoriza Bagi Perkembangan Pertanian dan Kehutanan di Indonesia. Makalah Seminar Bioteknologi Indonesia. PAU UGM, Yogyakarta.
Susilowati. 2000. Pengaruh Inokulasi Mikoriza Vesikular Arbuskular Campuran Terhadap Tanaman Kacang Tanah (Arachis hipogaea L.) pada Tanah masam. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Tampubolon, G., Ermadani dan Itang A. M. 2001. Kapasitas Jerapan Fosfat Ultisol dan Respon Tanaman Kedelai Terhadap Konsentrasi Kesetimbangan P dalam Larutan Tanah. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 2 (3): 89-93. 
Zulaikha, S. dan Gunawan. 2006. Serapan Fosfat dan Respon Fisiologis Tanaman Cabai Merah Cultivar Hot Beauty Terhadap Mikoriza dan Pupuk Fosfat PadaTanah Ultisol. Bioscientiae. 3 (2): 83-92.

No comments:

Post a Comment